Filosofi Naif Aspek Sosial, Budaya & Hukum Dunia Maya

From OnnoWiki
Jump to navigation Jump to search

Oleh: Onno W. Purbo

Ditulis April 2001

Semua orang mengetahui bahwa saya bukan ahli sosial, budaya & hukum. Dengan keterbatasan yang ada, perkenankan saya mencoba membahas dari sudut pandang sederhana seorang engineer tentang aspek sosial, budaya & hukum dunia maya. Jika ternyata ada kesalahan, saya memohon maaf sebesar-besarnya karena memang keahlian saya bukan pada bidang ini.


Model Sederhana Filosofi Arsitektur Dunia "Maya"?

Filosofi1.jpg

Dari hasil berguru ke banyak orang di Internet maupun di dunia nyata. Dari sudut pandang saya yang sederhana, tampaknya filosofi sosial, budaya & hukum di dunia maya sebetulnya dapat di gambarkan dengan amat sangat sederhana. Mudah-mudahan saya tidak salah.

Secara naif, filosofi arsitektur sosial, budaya & hukum di dunia maya tampaknya dapat digambarkan secara sederhana dalam bentuk seperti di samping. Ada tiga (3) pilar utama yang membangun dunia yang saya bayangkan, dan ke tiganya berjalan di atas platform yang kita bangun. Adapun ke tiga (3) pilar yang dimaksud:

  • Norma, Nilai, Value, Norm, Iman, Taqwa - yang sifatnya vertikal antara manusia dengan penciptanya.
  • Hukum tertulis (written law), undang-undang, PP, KEPMEN, KEPDIRJEN - yang sifatnya horizontal & bertumpu pada aparat penegak hukum & pengadilan sebagai lembaga yang menjamin ditegakannya kebenaran.
  • Hukum tidak tertulis, konsensus, hukum adat - yang sifatnya juga horizontal akan tetapi tidak mengandalkan pengadilan & aparat untuk menegakan kebenaran & keadilan tetapi menggunakan "People's Power".

Ke tiga (3) pilar tersebut berjalan di platform dimana kita berada. Platform ini menjadi menarik untuk dibahas karena perubahan dinamika platform tersebut ternyata akan sangat mempengaruhi dominasi diantara ke tiga (3) pilar di atas.

Platform tempat pilar-pilar tersebut dalam analisanya ternyata sangat sensitif terhadap kecepatan pergerakan informasi & pengetahuan di dalamnya. Bahkan pada sisi ekstrim dimana informasi & pengetahuan bergerak dengan sangat cepat & effisien bukan mustahil kita kembali ke masa lalu dimana hanya konsensus (hukum tidak tertulis) dan keimanan / taqwa (hukum Allah SWT) yang akan mengatur sosial & budaya manusia.


The Platform

Platform adalah tempat kita berpijak, berkarya & berinteraksi. Platform tersebut akan berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi yang ada di awalnya cenderung akan mempercepat proses transportasi fisik yang berlanjut dengan percepatan transfer informasi yang menstimulasi percepatan transfer ilmu pengetahuan.

Pada masa lalu, ribuan tahun yang lalu, peradaban manusia masih sangat sederhana teknologi dikembangkan untuk mempermudah & memperbaiki hidup manusia. Panah, senjata, bangunan rumah di bangun untuk menjamin rasa aman bagi manusia di dalamnya dari gangguan-gangguan fisik. Peninggalan sejarah berupa benteng, bangunan tua menjadi lambang ke jayaan masa lalu umat manusia. Rasa aman memang di tumbuhkan dengan adanya platform fisik yang memagari umat dari lingkungannya yang ganas. Pertikaian diselesaikan secara fisik, berperang, angkatan bersenjata menjadi sebuah andalan . Kepiawaian dalam mengunakan senjata & sarana fisik untuk menang dalam pertempuran menjadi idaman bagi setiap insan. Nuansa power & kekuasaan menjadi sangat dominan.

Di kemudian hari fenomena fisik ini merepresentasikan dirinya menjadi dinding-dinding tebal yang sulit di tembus, kerahasiaan, birokrasi yang bekerja atas dasar mekanisme perwakilan yang dilegitimasi oleh undang-undang. Tatanan & struktur komando yang sangat kerucut bentuknya menjadi model aplikasi birokrasi yang menjamin terlaksananya hukum & pemerintahan.

Di sisi fungsional, perdagangan & niaga menjadi ciri lanjutan dari manusia dalam proses budayanya. Effisiensi dan kecepatan menjadi penting untuk memenangkan perdagangan. Pertumbuhan pabrik & industri menjadi ciri khas proses effisiensi dan kecepatan ini. Percepatan pergerakan barang secara fisik menjadi idaman banyak umat, teknologi transportasi & mekanik menjadi dominan bagi perkembangan budaya perdagangan & niaga. Ekonomi bertumpu pada rantai supply komoditas & dagangan.

Di masa lalu biasanya nuansa kekuasaan & power bermain berdampingan dengan proses perdagangan tersebut. Kadang tindakan represif di halalkan untuk mengumpulkan kekayaan & kekuasaan bagi sekelompok elit yang sepertinya memperoleh legitimasi untuk melakukan apa saja mengatas namakan rakyat.

Secara perlahan, dengan semakin tersebarnya informasi & terjadinya peningkatan kepandaian umat. Mekanisme & proses pendidikan menjadi kunci utama dalam proses penyebaran & pemandaian umat. Umat akan berfikir, akan menggunakan otaknya & umat tidak akan begitu saja mengikuti perintah & tatanan birokrasi yang dibentuk. Kreatifitas, kebebasan berfikir & kritik menjadi lebih terbuka terhadap sistem yang ada untuk kepentingan umat. Tekanan untuk perbaikan sistem menjadi nyata dipicu dengan semakin transparan-nya sistem kepada umat. Secara alamiah & perlahan terjadi proses pengikisan terhadap nuansa kekuasaan & power yang di dominasi oleh sekelompok kecil elit.

Sialnya perkembangan teknologi tidak berhenti pada proses effisiensi transportasi fisik saja. Perkembangan teknologi informasi, internet & elektronika ternyata mampu mentransportasi tulisan, informasi & pengetahuan dalam kecepatan mili detik dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi ini. Platform tempat kita berpijak telah berubah bentuk secara significan, dinding, meja, kursi, birokrasi, kekuasaan, power menjadi tidak relevan dalam platform non-fisik yang baru ini. Platform ini dibangun mengunakan program (code), server, port, resource locator yang sulit di imajinasikan dalam dunia fisik yang biasa kita kenal selama ribuan tahun belakangan. Dengan keberadaan platform yang lain ini yang dapat mengeffisienkan proses transportasi informasi & pengetahuan tentunya tingkat dominasi ke tiga (3) pilar kembali bergeser.

Struktur Masyarakat

Tiga (3) pilar (Norma vertikal, Hukum Tertulis & Konsensus) tampaknya mendominasi bentuk struktur yang dibangun di masyarakat. Ketiga-nya secara sederhana membangun kepercayaan (trust) di masyarakat yang menjadi dasar bagi anggota-nya untuk berinteraksi satu dengan lainnya. Tentunya pola kepercayaan yang digunakan sangat beragam, terkadang kepercayaan (trust) tersebut merepresentasikan diri-nya dalam bentuk ketakutan karena tindakan represif penguasa yang harusnya bisa dipercaya. Dominasi pilar horizontal (hukum tertulis & hukum tidak tertulis / konsensus) akan sangat beragam effek-nya. Dalam penjelasan nanti akan terlihat pergeseran pilar & struktur yang disebabkan oleh percepatan transfer informasi & pengetahuan.

Dari ketiga (3) pilar tersebut, memang pilar horizontal yang mengatur masyarakat yang akan banyak terpengaruh oleh tingkat pengetahuan & mental masyarakat. Saya pribadi masih percaya bahwa masih ada satu (1) pilar norma, nilai, value, iman, taqwa yang sifatnya vertikal ke Allah SWT yang sifatnya tetap dan sebetulnya tidak tergoyahkan oleh kondisi platform maupun tingkat penguasaan pengetahuan di umat. Saya masih percaya bahwa hukum yang telah diberlakukan oleh pencipta manusia Allah SWT untuk umatnya sifatnya abadi. Mari kita lihat perkembangan platform tersebut.

Pada masa lalu, dimana transportasi fisik sukar dilakukan dan berjalan sangat lambat, transfer informasi & pengetahuan menjadi sangat lambat. Pada tahapan ini, umat umumnya tidak terlalu pandai, tingkat penguasaan pengetahuan kurang. Akibatnya, jalur komando & perintah menjadi sangat dominan, karena memang sulit mengandalkan aparat yang berada di bawah untuk mengambil keputusan sendiri dengan keterbatasan pengetahuan yang dimilikinya. Sadar atau tidak, pada akhirnya struktur masyarakat terbentuk mengandalkan struktur kekuasaan & kekuatan (power), tampuk pimpinan berada di atas seringkali menentukan banyak hal sedang aparat dibawahnya menjalankan perintah dan kemauan dari elit pimpinan yang ada di atasnya. Baginda raja, wedana dsb membentuk sebuah struktur komando yang bersifat kerucut untuk menjamin berlaku dengan baiknya law & oder di antara umat. Dominasi hukum tertulis yang dibuat oleh elit penguasa negeri menjadi sangat tinggi. Segala sesuatu, jika mungkin hingga hal sekecil-kecilnya di atur menggunakan hukum tertulis dengan tingkat punishment yang jelas & menjadi acuan kehidupan sehari-hari umat. Reward? Hmmm kadang kala tidak jelas, sudah untung umat diberikan hak hidup & berusaha di negeri tersebut.

Dengan semakin tersebarnya pengetahuan melalui sistem pendidikan yang ada, tingkat sosial & budaya berkembang. Umat tidak bisa lagi menerima perlakuan represif semena-mena di atur oleh elit tirani penguasa yang berlindung dibalik konstitusi, hukum tertulis. Mekanisme feedback / umpan balik dibangun secara perlahan untuk mengontrol kerja dari sekelompok elit tirani penguasa. Memang sulit sekali untuk membangun mekanisme umpan balik ini, apalagi dengan sekian banyaknya umat - mekanisme-mekanisme perwakilan berbasis partai, ideologi, golongan disahkan untuk mewakili suara umat. Proses pencarian legitimasi menjadi seni tersendiri. Semua harus diatur dengan baik agar adil karena platform yang digunakan masih lambat dalam menyalurkan informasi & pengetahuan. Kompromi politik, konsensus menjadi alternatif menarik dalam mekanisme kontrol untuk mencapai berbagai kesepakatan antara elit penguasa dengan perwakilan umat. Tampak bahwa bentuk-betuk konsensus, kompromi, hukum tidak tertulis menampakan wujudnya dengan semakin transparan informasi & pengetahuan ke sebagian besar umat.

Apa yang akan terjadi dengan semakin cepat & effisiennya transfer informasi & pengetahuan di platform yang kita gunakan? Gilanya, semua proses ternyata membutuhkan biaya yang sangat murah - bayangkan SMKN6 Yogyakarta hanya membutuhkan Rp. 5000 / bulan / siswa untuk mengakses platform Internet. SMKN1 Ciamis hanya membutuhkan Rp. 1000 / bulan / siswa untuk komunikasi e-mail di platform Internet. Jadi jelas hubungan komunikasi antar umat menjadi sangat cepat, sangat effisien dengan biaya yang sangat murah. Konsekuensinya, kepandaian tidak hanya diperoleh dari institusi pendidikan yang rigid yang dikontrol secara struktural oleh DIKNAS. Siswa & mahasiswa dapat dengan mudah menjadi pandai melalui berbagai interaksinya dengan masyarakat maya, melalui forum interaksif dua (2) arah seperti mailing list di Internet.

Pada platform dengan kemampuan transfer informasi yang cepat, kemampuan untuk berdiskusi, berargumentasi dengan baik, merepesentasikan sebuah konsep / pendapat kepada umum secara tertulis menjadi penting. Substansi informasi & pengetahuan yang mendominasi transaksi di platform Internet, seseorang akan dihormati terutama dari isi, kualitas, substansi informasi yang dia kirimkan melalui Internet. Penampilan fisik, jas, dasi, kendaraan mewah, rumah mewah, kantor yang bergengsi menjadi dipertanyakan kebutuhannya. Penghargaan kepada seseorang akan lebih bertumpu kepada pengetahuan yang dimiliki-nya yang disertai dengan kemampuan menyampaikan informasi & pengetahuan kepada sesama umat.

Komunikasi yang cepat dengan mudah menembus berbagai struktur & birokrasi yang biasanya dibangun oleh struktur masyarakat lama yang berbasis pada platform informasi yang lambat. Umat dengan mudah berkomunikasi satu dengan lainnnya, komunitas akan dibentuk oleh forum-forum silaturahmi, diskusi, interaksi antar umat. Umat dapat dengan mudah berkomunikasi dengan "wakil"-nya di dunia konvensional maupun dengan elit penguasa kalau saja para "wakil" & elit penguasa mau membuka dirinya.

Dengan semakin effisien-nya komunikasi antar umat - sering kali kita yang aktif di Internet akhirnya akan bingung sendiri, apakah kita masih memerlukan mekanisme perwakilan? Platform informasi yang cepat memungkinkan sekali bagi setiap orang untuk menyuarakan pendapatnya, isi hatinya tanpa perlu mekanisme distribusi / perwakilan. Konsep one man one vote dapat dilaksanakan oleh seluruh komunitas di Internet secara demokratis yang murni (bukan perwakilan). Eksistensi konsep DPR & MPR menjadi dipertanyakan di platform informasi yang cepat. Kenyataannya dengan platform informasi yang cepat akan mensejajarkan umat satu sama lain, setiap orang tidak lebih tinggi tidak lebih rendah dengan lainnya, persamaan hak menjadi nyata sekali.

Jangan kaget jika kita jelajahi lebih lanjut berbagai konsekuensi yang akan ditimbulkan dengan mengubah platform tempat kita berpijak ke platform dengan kecepatan transfer pengetahuan & informasi yang demikian cepat bukan mustahil akan mengubah dominasi hukum tertulis, bahkan bukan tidak mungkin akan menghilangkan sama sekali hukum tertulis. Transparansi ekstrim bukan mustahil pada akhirnya membuat proses konsensus & hukum adat menjadi sangat dominan. Eksposure setiap tindak kejahatan ke segenap umat secara transparan ekstrim bukan mustahil akan menekan tindak kejahatan lainnya. Akan lebih baik lagi, jika pada ahkirnya proses transparansi ini akan mengubah paradigma umat dan mendekatkan diri pada Khaliq-nya sehingga pada norma, nilai, value, iman & taqwa yang vertikal menjadi tonggak yang kokoh di hati umatnya.

Keimanan menjadi tolok ukur yang sangat penting pada pilar vertikal yang ada. Kepada apa kita beriman? Uang? Kekayaan? Kekuasaan? Kecantikan? ….. atau pada Allah SWT? Tentunya akan berbeda effek-nya kepada pilar horizontal yang ada jika keimanan ini masih dipengaruhi oleh aspek duniawi dengan jika kita ikhlas & berserah diri kepada Allah SWT semata.

Pada tahapan tertinggi dari pilar vertikal ini, manusia harusnya kembali kepada fitrah-nya di muka bumi sebagai khalifah yang secara horizontal beramal kepada sesama umat, secara vertikal beribadah kepada-Nya. Rizki harusnya disesuaikan dengan amal yang dilakukan, sedang tingkat ibadah akan menentukan pahala yang akan diperolehnya. Sederhana untuk dikatakan, amat sulit untuk dilakukan.

Model Perputaran Pengetahuan Sebagai Basis Struktur Masyarakat

Filosofi2.jpg

Dari berbagai penjelasan di atas tampak jelas bahwa kecepatan perputaran informasi & pengetahuan menjadi kunci dalam berbagai perubahan paradigma yang ada. Mudah-mudahan pemikiran yang kami coba tuangkan dalam tulisan ini tidak terlalu kontroversial dalam dunia pendidikan di Indonesia. Karena beberapa hal konvensional seperti HAKI, hak cipta, hak paten, badan akreditasi menjadi dipertanyakan di platform informasi yang cepat. Saya mohon maaf sebelumnya.

Dalam sebuah sistem pendidikan & perguruan tinggi untuk transformasi umat menuju "knowledge based society", saya pikir perlu kerangka Knowledge Management (KM) yang tepat untuk mengembangkan core competence & local content yang sustainable & mandiri. Manajemen tacit (implicit) knowledge, explicit knowledge maupun potential knowledge melalui mekanisme collaboration, digital library maupun kemampuan analysis menjadi penting untuk di implementasikan dengan dukungan standar operasi perguruan tinggi bersinergi dengan media digital. Salah satu filosofi mendasar KM di antara knowledge worker adalah:


"Knowledge is power. Share it and it will multiply"


Sebuah filosofy yang mungkin akan sangat berat dilakukan bagi orang yang masih berpijak pada paradigma lama & platform informasi yang lambat. Umumnya mereka berfikir masih pada hak cipta, paten, HAKI sebagai proteksi knowledge & ide. Aparat penegak hukum & piranti pengadilan digunakan untuk memproteksi pengetahuan & ide yang dikembangkan. Sangat wajar karena hukum tertulis yang digunakan sebagai batu pijakannya.

Apa jadinya jika hukum adat, konsensus, hukum tidak tertulis yang digunakan sebagai pijakannya? Siapakah yang akan memproteksi ide & pengetahuan tersebut? Pengadilan & aparat penegak hukum jelas tidak bisa digunakan - yah … mungkinkah umat itu sendiri yang akan memproteksi?

Pertanyaan dapat terus berkembang misalnya … tujuan apa yang ingin dicapai mengacu pada nilai-nilai yang dipegang oleh stake holder pengetahuan / pendidikan tersebut. Berapa besar impact yang ditimbulkan sebuah konsep / pengetahuan kepada umat? Bagaimana proses pengakuan (acknowledgement) sebuah siklus penelitian / pengetahuan? Seberapa effektif share knowledge yang dilakukan oleh penelitian kepada stake holder?

Sekelumit hasil nyata yang kasat mata …

Dalam rangka mencari stake holder penelitian & pekerjaan yang kita lakukan. Mari kita melihat beberapa hal yang kasat mata. Saya bersama mahasiswa saya selama ini praktis berkecimpung / memfokuskan diri di dunia Internet. Secara informal bersama rekan-rekan yang lain di tahun 1994 membangun kelompok informal (OTB) di ITB dengan nama - Computer Network Research Group (CNRG) - cnrg@itb.ac.id - yang kemudian menjadi salah satu pendorong jaringan Internet pendidikan AI3 ai3@itb.ac.id - di Indonesia yang mengkaitkan 25+ lembaga pendidikan di Indonesia. Sempalan kelompok CNRG di awal tahun 1999 mulai aktif mengembangkan knowledge management di Perpustakaan Pusat ITB yang kemudian berkembang menjadi cikal bakal Knowledge Management Research Group (KMRG) - lagi-lagi OTB - dari team Digital Library - digilib@itb.ac.id Perpustakaan Pusat ITB (library@itb.ac.id) dengan hasilnya Digital Library & Library Network di http://digital.lib.itb.ac.id yang mengkaitkan 20+ perpustakaan di seluruh Indonesia. Yang dikemudian hari berkembang menjadi Indonesia Digital Library Network (IDLN) yang dimotori rekan-rekan seperti Ismail Fahmi (ismail@itb.ac.id). Sebagian besar kegiatan pembangunan ini dilakukan secara mandiri & swadana - dan praktis tidak melibatkan langsung Bank dunia / IMF / ADB dalam pendanaan-nya. Hal ini paling tidak mengurangi rasa berdosa kepada rakyat.

Apakah CNRG melakukan penelitian "serius"? yang pasti dana penelitian "serius" yang besar yang pernah di ambil melalui Lembaga Penelitian ITB hanya RUT II di tahun 1994 yang besarnya Rp. 100 juta. Selebihnya praktis kami tidak mengambil penelitian "serius" melalui LP kecuali beberapa "proyek" yang melalui pintu-pintu ITB.

Dalam kata sederhana - sebetulnya LP / ITB akan kesulitan memonitor kegiatan penelitian yang dilakukan CNRG / KMRG ITB karena praktis sejak tahun 1995 tidak melakukan penelitian dengan dana melalui LP ITB. Evaluasi & monitoring oleh lembaga pemerintah sering kali dilakukan dengan melakukan intervensi pada cash flow, jika kita tidak bergantung sama sekali pada cash flow lembaga lain & meletakan stake holder pada masyarakat global maka lembaga tersebut praktis tidak dapat memonitoring & mengevaluasinya.

Terus terangnya, penelitian di CNRG ITB berjalan terus & dilakukan secara swadana & swadaya rekan-rekan di CNRG yang merupakan peneliti-peneliti muda di ITB (mereka bukan staff dosen & juga bukan mahasiswa). Ngoprek dengan dana sendiri yang dikumpulkan dari kiri-kanan - terutama melalui proses sosialisasi / transfer teknologi internet - pada saat membangun jaringan pendidikan AI3 tersebut. Filosofi swadana semaksimal mungkin dipegang di CNRG & KMRG ITB - dengan konsekuensi yang di tanggung ITB adalah tidak dapat di monitor dan di evaluasinya penelitian & performance yang ada di CNRG & KMRG ITB ini.

Setelah berjalan beberapa tahun, sekedar memberikan gambaran beberapa / sekelumit hasil kelompok CNRG / KMRG ITB ini:

  • Total buku yang sudah diterbitkan mendekati 20 buah bisa diperoleh di Gramedia seharga Rp, 15-20.000 / buku.
  • Presentasi di berbagai seminar / workshop / conference rata-rata 1-3 / minggu.
  • Tulisan / artikel di majalah / koran rata-rata sekitar 3-5 / minggu.
  • Total tulisan sejak tahun 1994-an yang jumlah-nya ribuan.
  • Talk-show di berbagai stasiun radio rata-rata 1-2 / bulan.
  • Penyebaran CD-ROM berisi ribuan artikel dan beberapa buku yang gratis didukung rekan-rekan APKOMINDO.

Belum lagi kalau dihitung aktifitas beberapa anggota CNRG / KMRG di berbagai aktifitas tingkat nasional / internasional, seperti:

  • Forum Rektor
  • Komisi Regulasi Telekomunikasi.
  • Regulasi Internet di Indonesia.
  • Pimpinan Editor Naskah Nusantara 21 (National Information Infrastructure).
  • Asia Pacific Advanced Network
  • Asia Pacific Networking Group - dll.

Proses siklus perputaran knowledge sangat cepat sekali, apalagi dengan didukung teknologi informasi seperti Internet - platform kolaborasi untuk transfer tacit knowledge, digital library untuk management explicit knowledge dan kemampuan analisis dalam mengolah raw data menjadi knowledge menjadi terasa sebagai sebuah kesatuan terpadu dibantu teknologi informasi yang berfokus pada konsep knowledge management.

Pada gambar di samping saya mencoba menggambarkan siklus pemurnian pengetahuan secara sederhana. Seseorang dalam prosesnya menganalisa dan mensintesa pengetahuan dari berbagai masukan yang dia peroleh kemudian di lemparkan kepada sebuah sistem yang akan mendistribusikan pengetahuan tersebut kepada khalayak ramai. Sistem pendistribusian ini dapat berupa penerbitan buku, artikel di jurnal, majalah, koran, perpusatakaan digital, CD-ROM dll. Umpan balik berupa kritik, saran maupun reward akan diperoleh baik dari lembaga dewa yang menjadi perantara masyarakat, peer review maupun langsung dari masyarakat. Berbasis kepada umpan balik yang diperoleh, pemurnian pengetahuan kemudian dilakukan dengan menjalani siklus tersebut berkali-kali hingga pengetahuan yang dihasilkan semakin hari semakin baik. Proses siklus menjadi demikian cepat jika dibantu dengan infrastruktur teknologi informasi yang sangat effisien.

Proteksi knowledge seperti HAKI, hak cipta, paten & akreditasi bukan mustahil justru pada akhirnya akan menghambat percepatan siklus pengetahuan dalam platform informasi yang demikian cepat. Kelambatan dalam memutar siklus pengetahuan tersebut pada akhirnya harus diterima dengan konsekuensi kerugian intangible justru di sisi si peneliti maupun stake holder umat itu sendiri.

Moral dari cerita ini antara lain - sangat mudah sekali untuk mengecohkan ITB yang berpegang pada paradigma lama dalam monitoring, evaluasi & kenaikan pangkat yang menggunakan ITB sebagai perantara stake holder - sekelompok manusia di ITB yang mempunyai pengetahuan & skill di bantu teknologi informasi, Internet & penguasaan konsep knowledge management + konsep pendukung seperti information economics, information warfare & psychological warfare dapat melakukan manouver di tingkat nasional & internasional. Salah satu kuncinya ada pada pada peletakan posisi stake holder penelitian / pengetahuan & misi yang di emban-nya langsung pada masyarakat global bukan lembaga monitoring & evaluasi perantara seperti LP, LAPI, LPM, Jurusan, Fakultas dll.

Peletakan stake holder langsung pada masyarakat global justru ternyata berdampak sangat besar bagi CNRG & KMRG sehingga pengakuan / acknowledgement justru dari khalayak ramai di luar ITB baik nasional maupun internasional.

Konsep yang sama akan terjadi juga jika kita tarik konsep ini ke Lembaga dewa yang dibentuk oleh DIKNAS seperti Badan Akreditasi Nasional (BAN). Benarkah ada orang / lembaga yang cukup sakti di negara ini yang dapat menentukan secara adil & baik tentang kualitas sebuah program / institusi seperti yang tercantum dalam hukum tertulis di dunia pendidikan Indonesia. Apakah umat di Indonesia tidak pandai sehingga tidak bisa menilai kualitas sebuah lembaga / program jika transparansi informasi dilakukan dengan baik di platform informasi yang cepat?

Pertanyaan Filosofis …

Dalam proses mencari … sering saya merenung sendiri:

Untuk apa kita melakukan penelitian? Menimba ilmu? Berusaha menjadi pandai? Mengapa penelitian & menimba ilmu perlu dilakukan? Apakah untuk KUM? Untuk naik pangkat? Untuk memperoleh kedudukan yang lebih baik? Untuk memperoleh gaji yang lebih besar? Mengapa menulis paper? Apakah untuk KUM? Mengapa menulis buku? Apakah untuk kuliah? Apakah untuk menaikan KUM? Siapa yang harusnya menikmati hasil penelitian kita? Hasil analisa & sintesa pengetahuan yang dilakukan? Kepada siapa kita harus pertanggung jawabkan hasil penelitian? Hasil analisa & sintesa pengetahuan?

Pertanyaan ini tampaknya menggelitik pilar yang dibangun dalam interaksi horizontal kepada umat. Apakah kita akan bertumpu pada pranata tertulis? Atau konsensus? Jawaban filosofis-nya tampaknya terdapat pada pilar vertikal.

Mencari Jawaban …

Proses pencarian jawaban terus berlanjut hingga detik saya mencoba menulis naskah ini. Sebagian jawaban tampaknya mulai tampak di hadapan mata. Salah satu jawaban filosofis mendasarnya mungkin ada di:

Sebutlah! dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Sebutlah! dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Al Alaq:1-5

Kebetulan Al Alaq:1-5 merupakan lima (5) ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW di gua Hira. Tentunya ada filosofi yang sangat mendasar sekali mengapa justru ke lima (5) ayat ini yang diturunkan pertama kali. Mengapa bukan Al Fatihah? Entah lah … Mari kita telaah lebih jauh ke lima (5) ayat di atas. Yang jelas nuansa pengetahuan tampak sangat dominan dalam Al Alaq:1-5.

"Iqra! Iqra!" begitulah malaikat Jibril meminta Nabi Muhammad SAW untuk membaca (sebagian menafsirkannya sebagai menyebut). Jelas-jelas Nabi saat itu buta huruf tidak bisa membaca & menulis … mengapa justru Bacalah! Bacalah! adalah kata pertama yang diturunkan oleh Allah SAW? Mengapa bukan kata lainnya yang diturunkan pertama kali?

"Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah."

Dia telah menciptakan manusia dari sesuatu yang nyaris tidak ada apa-apanya. Demikian juga dengan segala sesuatu yang ada di alam, termasuk virus, bakteri, atom, dll maupun yang besar-besar seperti gunung, lautan, planet, dll. ada karena Allah SWT berkehendak dan menciptakan semua itu.

"Sebutlah! dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,"

Dengan kemurahan Allah SWT juga, manusia menjadi tahu dari apa yang tidak manusia ketahui karena:

"Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."

Manusia pada dasarnya tidak tahu apa-apa, tapi dibuat tahu oleh Allah SWT, karena Allah SWT "Pemilik segala Pengetahuan". Melalui "kalam" (tulisan) kita dibuat tahu. Ini artinya luas, bisa "tulisan, ucapan, alam dll..".

Konsekuensi dari fakta di atas sebetulnya cukup menggelisahkan bagi sebagian umat manusia. Jelas bahwa pengetahuan secara hakiki sebetulnya dimiliki oleh Allah SWT bukan oleh manusia. Dengan fakta demikian apakah masih relevan penggunaan hukum tertulis untuk memproteksi pengetahuan? Seperti HAKI, hak cipta, hak paten, hak ekonomis dll. yang banyak berkembang dalam platform informasi yang lambat. Apakah hukum tertulis disini justru kontradiktif dengan fakta / kenyataan yang ada & bukan mustahil jika nantinya secara alamiah justru akan terkikis?

Menarik untuk dicermati perkembangan movement penggunaan copyleft bahkan copy wrong melalui mekanisme GNU Public License (GPL) dll. Semua berkembang dalam platform informasi & knowledge yang cepat. Jelas disini pilar yang digunakan bukan lagi hukum tertulis melainkan konsensus, hukum adat umat / komunitas. Proteksi tampaknya dilakukan secara alamiah berbasis hukum tidak tertulis dalam komunitas itu sendiri.

Saya yakin bahwa masih banyak hal yang perlu digali untuk memperoleh pemahaman lebih dalam, akan tetapi penjelasan sekilas yang tampaknya cukup global telah menampakan bentuknya justru dari pilar vertikal. Seni-nya barangkali bagaimana mengeffisienkan proses amal, ibadah & sedekah agar bermanfaat bagi orang banyak.

Akhir Kata

Kepercayaan (trust) tampaknya menjadi kunci dari ketiga (3) pilar yang membangun sosial budaya & hukum diantara umat, pada tingkat lanjut tampaknya pilar vertikal ke imanan yang harusnya mendominasi seluruh pilar yang ada.

Pada dasarnya umat manusia sederajat, tidak ada yang lebih tinggi tidak ada yang lebih rendah. Tampaknya platform informasi yang cepat memungkinkan effisiensi distribusi informasi & pengetahuan – secara sederhana, proses amal sadaqah menjadi lebih effisien. Fitrah manusia sebagai khalifah di muka bumi memang berkewajiban untuk beribadah kepada penciptanya Allah SWT (secara vertikal) dan beramal soleh kepada sesama umat (horizontal). Alhamdullillah, teknologi informasi memungkinkan effisiensi proses amal, ibadah & sedekah agar bermanfaat bagi orang banyak.


Pranala Menarik


Beberapa Cuplikan Pemikiran