Alternatif Jalur Menuju Pakar

From OnnoWiki
Jump to navigation Jump to search

Sumber: Onno W. Purbo

Kadang saya suka geli & senyum-senyum sendiri melihat rekan-rekan jurnalis ada yang menjuluki saya Pakar Internet, Professor Internet (sekarang tanpa perguruan tinggi), bahkan Menteri Internet (tanpa KEPPRES). Padahal modal saya betul-betul modal dengkul, saya tidak pernah belajar formal tentang teknologi informasi, tidak pernah belajar formal tentang Internet, saya jelas lebih bodoh daripada adik-adik mahasiswa di ITB lha wong sering nanya ke mereka koq saya ini. Terus terangnya, saya praktis tidak punya apa-apa secara formal.

Saya pikir, mungkin karena gelar saya yang S3 dari Canada itu? Padahal jelas-jelas gelar tersebut bidangnya adalah teknologi pembuatan IC, S2 saya di fiber optik - tidak ada hubungannya sama sekali dengan Internet. Terus terang Internet saya pelajari sendiri & berguru secara informal. Jadi secara formal harusnya saya tidak berhak atas semua gelar, julukan yang diberikan rekan jurnalis di atas :) ..

Mungkin pendidikan informal yang akhirnya lebih banyak membentuk saya seperti sekarang ini. Saya rasa proses bersosialisasi, berteman, belajar dari teman, kemampuan untuk mengolah / mengembangkan pengetahuan merupakan kunci sukses selama ini. Di tulisan ini saya mencoba mengupas beberapa hal praktis yang saya lalui hingga mencapai kondisi sekarang ini, yang saya yakin masih jauh dari kondisi sempurna. Paling tidak jalur tersebut saya harap bisa memberikan wawasan bagi rekan-rekan untuk mulai menjalankan karir-nya di hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Sebuah karir dimana reward, acknowledgement, dan akreditasi diberikan langsung oleh masyarakat - tidak harus tergantung 100% kepada ijazah, ujian negara dan sebangsanya.

Tampaknya sebagian besar jalan hidup saya berawal dari hobby amatir radio, nge-brik begitu barangkali bahasa gaul-nya. Dengan modal awal tidak punya apa-apa; hanya keinginan untuk nge-brik dengan CB seperti teman-teman SMP yang lain - saya akhirnya membeli buku "teknik membuat pemancar transistor". Kebetulan sekali di buku itu di tulis bahwa teman-teman yang suka membuat pemancar sendiri suka mangkal di frekuensi 3.5 MHz (80 meter) band. Jaman itu tahun 1978-an waktu itu mungkin masih jaman susah jadi memaksa orang untuk kreatif untuk membuat sendiri pemancar-pemancarnya.Diskusi antar pembuat pemancar ini dilakukan cukup aktif di 80 meter-band. Hampir setiap hari selama 2+ tahun monitoring 80 meter band dan obrolan rekan-rekan ini, radio merupakan barang yang hampir tidak pernah lepas dari sisi saya. Dari pembicaraan mereka saya tahu kita bisa membuat pemancar sederhana menggunakan tabung 6V6, 6L6, 807 dll. Di kemudian hari ternyata pola belajar informal yang paling baik adalah secara serius mendengarkan, membaca diskusi yang dilakukan oleh rekan-rekan se-hobby. Belajar dan mengerjakan apa-apa yang kita sukai memang paling menyenangkan.

Akhirnya pada tahun 1979 saya bisa membuat pemancar sendiri dari tabung bekas & buku amatir radio yang saya peroleh dari teman sekelas saya Krishna Ariadi Pribadi. Dengan bermodal buku & tabung bekas saya mengudara di 80 meter band dengan peralatan yang dibuat sendiri, sangat sederhana memang. Di sini saya sangat beruntung dapat berinteraksi dengan banyak rekan-rekan amatir radio yang senior dan belajar teknik-teknik elektronika kepada pada senior tersebut secara lebih interaktif. Memang harus di akui bahwa pasif mendengar saja tidak cukup, harus dibarengi dengan kemauan keras untuk membaca buku-buku dan aktif berinteraksi dengan orang yang lebih ahli di bidangnya. Tanpa terasa pembentukan karakter, pola pengembangan diri terpatri sejak dini di dunia amatir radio.

Sekitar tahun 1981-an saya mengenal komputer dari Bachti Alisyahbana (putra dari Prof. Iskandar Alisyahbana), sering saya ke rumahnya untuk ngoprek dan mengobok-obok komputer Radio Shack-nya karena memang saya tidak punya komputer. Saya mencoba programming BASIC di komputer beliau. Saya suka sekali dengan komputer ini, belum pernah terbayangkan ada alat hitung seperti komputer yang bisa di program dan di mainkan sedemikian menarik. Tampaknya jika ada kemauan yang kuat biasanya ada saja jalan untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan tersebut.

Pada tahun 1986-an saya mulai diperkenalkan oleh rekan-rekan amatir senior seperti Mas Robby Soebiakto YB1BG, Pak Achmad Zaini YB1HR cs. bahwa kita bisa menggunakan komputer untuk saling berkomunikasi satu dengan lainnya menggunakan radio. Sebuah gabungan dua teknologi yang menarik sekali bagi saya. Di tahun 1986-an kami pada saat itu merupakan belasan amatir radio di Indonesia yang merintis teknik komunikasi data packet radio di 7MHz 40 meter band. Teknik yang dipakai dikenal sebagai teknik packet radio yang menggunakan protokol komunikasi data AX.25. Itu mula pertama saya berkenalan dengan teknik komunikasi data yang relatif canggih. Terkagum saya melihat dilayar komputer bisa kita bercakap melalui keyboard, masuk ke Packet Bulletin Board System (PBBS) rekan lain seperti Pak IGK Manila YB1GM (sekarang YB0AA) dan mengirimkan berita e-mail ke seluruh dunia melalui jaringan store-and-forward PBBS amatir radio. Komunikasi digital sederhana ini kami lakukan di tahun 1986-an, mungkin belum terbayangkan oleh sebagian besar dari kita yang menikmati Internet pada hari ini. Kekaguman demi kekaguman terus dirasakan dan mendorong untuk terus membaca dan mempelajari teknik-teknik komunikasi data secara autodidak.

Tahun 1987, berangkat ke Canada untuk meneruskan S2 - beruntung saya memilih kota Hamilton dan menjadi satu-satu-nya orang Indonesia di kota itu sehingga memaksa saya untuk bisa bergaul dalam bahasa Inggris. Kebetulan sekali di kota Hamilton ada perkumpulan packet radio yang cukup aktif di amerika utara yaitu Hamilton Amateur Packet Network (HAPN) yang mengembangkan peralatan packet radio sendiri. Saya bergabung dengan HAPN dan belajar banyak dari mereka. Pada 1987 itu Mas Robby YB1BG mengirimkan surat kepada saya dan menyarankan bahkan mungkin sangat mendorong untuk mempelajari lebih dalam lagi teknik TCP/IP karena akan menjadi dasar utama bagi jaringan komputer dimasa mendatang.

Alhamdullilah, saya betul-betul mengikuti nasihat mas Robby YB1BG yang bekerja di USI/IBM. Saya harus mengakui bahwa nasihat Mas Robby YB1BG yang banyak mempengaruhi saya di bidang Internet, tanpa arahan beliau tidak mungkin saya menjadi seperti sekarang. Saya masuk ke beberapa mailing list amatir radio di jaringan perguruan tinggi seperti BITNET & NSFNet. Pada tahun 1987 belum ada Internet seperti yang kita kenal sekarang. Mailing list umumnya menggunakan listserv pada jaringan BITNET yang berbasis SNA (IBM). Berbekal akses e-mail BITNET di kampus, saya banyak belajar dengan membaca berbagai mailing list amatir radio dan mengambil software untuk amatir radio khususnya NOS yang menjadi ujicoba jaringan TCP/IP packet radio pada PC dengan sistem operasi DOS. Metoda banyak mendengarkan, banyak membaca berbagai diskusi ternyata sangat ampuh untuk belajar secara autodidak. Beruntung sekali dengan adanya mailing list proses belajar menjadi tidak lagi dibatasi batas dimensi institusi, dimensi ruang dan dimensi waktu.

Sebagian besar informasi sebetulnya ada di manual maupun arsip diskusi. Pola belajar yang terbaik adalah "membaca" dengan baik, istilahnya rekan-rekan di mailing list biasanya adalah RTFM (Read The F*cking Manual). Atau cari FAQ (Frequently Asked Question) dan whitepaper dari berbagai topik yang ada. Belakangan khususnya di komunitas UNIX / Linux juga ditulis dokumentasi dalam bentuk HOWTO. Membaca, menganalisa, mengerti dengan baik ilmu yang ada di Internet merupakan modal awal yang sangat manjur untuk tahap selanjutnya. Sampai tahap ini saya rasa kita masih berada pada posisi penerima pengetahuan dan mengkonsumsi informasi. Konsumen merupakan posisi terendah dalam rantai supply-demand, konsumen biasanya yang mengeluarkan uang - hanya produsen yang akan memperoleh keuntungan yang maksimal.

Menjadi posisi produsen informasi & pengetahuan dilakukan secara perlahan dan bertahap. Menjadi produsen pengetahuan sebetulnya tidaklah terlalu sulit yang paling sederhana adalah menjawab pertanyaan di mailing list / newsgroup, mau tidak mau kita harus menjawab dengan baik dan benar dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya. Komunitas mailing list akan mengevaluasi secara langsung apakah jawaban kita betul atau salah, jika salah sering kali hujatan (istilahnya flame) akan dilontarkan kepada kita. Audit kepakaran akan secara langsung dilakukan oleh komunitas mailing list yang biasanya terbatas jumlahnya sekitar puluhan atau ratusan anggota.Kecepatan meresponds diskusi / interaksi mailing list akan menunjukan komitmen kita kepada masyarakat. Di Internet, rekan-rekan akan sangat mengharapkan kita me-responds dalam waktu yang cepat berorde menit kalau bisa detik.

Saya rasa langkah yang harus dilakukan selanjutnya adalah secara serius mensintesa ilmu pengetahuan yang kita peroleh selama ini. Hal ini mulai saya lakukan secara serius di tahun 1992, dengan menulis artikel-artikel pendek di KOMPAS. Kemudian berlanjut ke berbagai media seperti infokomputer.com, dotcom, detik.com dll. Kritik tidak lagi dibatasi dalam komunitas mailing list, tapi mulai berkembang ke masyarakat banyak. Audit masyarakat sering kali lebih keras, kritik lebih tajam. Pengalaman menunjukan sangat sulit untuk memuaskan semua orang, sama sulitnya untuk menerangkan sebuah konsep dalam bahasa yang sederhana yang mudah dimengerti oleh para pembaca yang mungkin bukan berlatar belakang teknik. Kadang bahkan sangat sulit untuk mencari kompromi dari berbagai kondisi yang ada, keberpihakan bagi keuntungan masyarakat banyak biasanya akan lebih menguntungkan; dengan konsekuensi badai yang dahsyat terutama jika konsep yang dilontarkan akan merugikan pihak yang berkuasa. Transparansi seluas-luasnya pengetahuan & informasi kepada masyarakat banyak tampaknya yang akan menyelamatkan diri kita pada tingkat tersebut. Tampaknya penggunaan konsep GPL, copyleft, copywrong, public domain yang menguntungkan rakyat banyak akan memproteksi secara alamiah dari badai & topan yang dahsyat tadi. Badai itu telah saya alami dan tampaknya akan terus saya alami, seperti pohon semakian tinggi sebuah pohon semakin keras anginnya.

Saat ini kita cukup diuntungkan dengan maraknya media online, keterbatasan halaman yang ada di media cetak menjadi hilang - artikel, paper menjadi jauh lebih mudah untuk di publikasi diberbagai portal. Persaingan menjadi lebih gampang, sangat berbeda dengan masa lalu yang sangat ketat karena media masih dibatasi halaman. Society audit menjadi kenyataan, tidak lagi redaksi sebagai penentu utama kualitas sebuah tulisan.

Tentunya jangan berhenti di menulis artikel, lanjutkan ke menulis buku. Menulis buku merupakan kelanjutan dari menulis artikel, kita perlu mengidentifikasi siapa yang akan membaca buku. Mengapa buku tersebut menjadi penting? Apakah pembaca di untungkan dengan ilmu yang dijelaskan? Cara paling sederhana untuk menulis yang saya alami adalah mulai dari outline power point, berlanjut pada penyiapan gambar yang dibutuhkan. Buku akan terjadi dengan sendirinya pada saat kita mengelaborasi outline power point yang kita buat di awal. Kadang teman mulai menjuluki kita pakar pada saat buku telah selesai ditulis dan diterbitkan, padahal sebagian besar ilmu yang dituangkan dalam bentuk buku diperoleh dari akumulasi pengetahuan dari berbagai diskusi mailing list, membaca FAQ, whitepaper, howto yang diperoleh selama beberapa tahun. Dalam kasus saya, mulai dari tahun 1980-an hingga tahun 1998-an baru mulai menulis buku jadi merupakan proses yang sangat panjang hampir 20 tahun sebelum mampu menulis buku. Saya yakin generasi muda Indonesia hari ini tidak harus menunggu sedemikian lama lagi, informasi & pengetahuan akan menjadi amat sangat mudah diperoleh dengan menggunakan Internet, beberapa mahasiswa saya bahkan sanggup menulis buku setelah aktif berdiskusi dan surfing di Internet dalam waktu 1-2 tahun saja. Society audit bahkan dapat terjadi secara cepat dan langsung melihat hasil buah karya mereka dalam berbagai media baik cetak, elektronik maupun online. Sebuah proses pembelajaran yang jauh lebih effisien daripada apa yang saya alami sendiri. Proses society audit yang demikian effisien akhirnya akan mempercepat proses reward, acknowledgement dan akreditasi langsung oleh masyarakat kepada si penulis yang menjadi sumber pengetahuan baru tadi. Akhirnya seluruh proses akan mempertanyakan konsep konvensional seperi ijazah, ujian negara, badan akreditasi sampai sejauh mana merepresentasikan acknowledgement masyarakat?

Mudah-mudahan setelah membaca tulisan ini, pembaca dapat melihat sebuah alternatif jalan menuju seorang "Pakar". Pendidikan formal bukan satu-satunya jalan menuju "pakar", pendidikan informal autodidak justru akan sangat dominan untuk menjadikan anda seorang "pakar". Pola pendidikan informal ini bahkan memungkinkan belajar dan mengerjakan hal-hal yang kita sukai saja. Internet memungkinkan untuk membentuk “pakar” dalam waktu singkat tanpa perlu bergantung sepenuhnya pada pendidikan formal. Apalagi sekarang untuk meneruskan kuliah saja kadang sangat sulit. Pengakuan "pakar" akan diberikan oleh masyarakat di nilai dari besarnya bantuan yang kita berikan kepada masyarakat, semakian banyak masyarakat di untungkan maka semakin tinggi tingkat "kepakaran". Dalam bahasa yang lebih religius semakin banyak amal & ibadah semakin banyak pahala yang akan diperoleh dan tentunya rizki.



Beberapa Pemikiran Onno W. Purbo