Cybercity, Silicon Valley vs. Cybermaya
oleh: Onno W. Purbo
Tulisan ini ditulis bulan Maret 2000.
Cyber cyber cyber e-life e-bisnis e-commerce serba elektronik demikian tampaknya semakin hot di era millenium mendatang. Hanya saja paradigma cyber yang biasanya tidak dibatasi dimensi ruang, dimensi waktu koq menjadi terbatas kalau di bawa ke Indonesia. Menjadi cybercity yang dibatasi wilayah di kemayoran, menjadi Bandung High Tech Valley dibatasi di Bandung. Terus terang saya koq kurang percaya dengan paradigma infrastruktur demikian. Bangunan, jalan, kabel fiber optik, kabel telepon, pabrik, kertas memang sarana fisik infrastruktur yang dibatasi ruang dan waktu. Cyber harus tidak di batasi dimensi ruang dan waktu.
Saya pikir ruang cyber di bangun oleh data, informasi, pengetahuan dan kebijakan (wisdom) yang dapat berjalan di atas infrastruktur fisik. Pemikiran tidak harus berjalan di dalam bangunan, pabrik, tidak harus berjalan di atas fiber optik maupun cybercity. Diskusi interaksi dua arah merupakan resep utama pembentukan ruang cyber berbasis pengetahuan, paradigma sumber informasi yang represif dimasa orde baru tidak mungkin lagi dipegang di dunia cyber. Jelas jika melihat proses interaksi mendasarnya - diskusi interaksi antar manusia, masyarakat dan komunitas menjadi bagian penting dalam pembangunan pengetahuan implisit yang ada di dalam kepala pelakunya. Pengetahuan implisit dapat berupa pengalaman, attitude, gaya hidup yang tidak tertulis. Tentunya ada pengetahuan lain yang sifatnya eksplisit tertulis dalam buku, dokumen yang lebih mudah di olah secara elektronik melalui Web, di samping pengetahuan yang potensial dari data-data yang berserakan yang perlu kemampuan analisis yang jeli untuk mengolahnya.
Diskusi interaksi dua arah merupakan komponen terpenting yang saya amati dalam pembangunan kerangka pikiran cyber, komunitas elektronik, diskusi mailing list merupakan fondasi utama bagi masyarakat komunitas cyber. Tidak terlalu sukar untuk membangun infrastruktur diskusi interaktif dua arah tersebut di dunia cyber yang paling murah dan sederhana menggunakan mailing list seperti egroups.com yang praktis gratis sehingga diskusi dapat dilangsungkan secara asinkron tanpa harus online terus menerus seperti chatting.
Yang paling penting diperhatikan adalah faktor kualitas manusianya, dunia informasi, pengetahuan dan kebijakan hanya mungkin dibentuk oleh komunitas manusia terdidik & terpelajar. Ingredient komunitas terdidik dan terpelajar yang haus akan hal yang baru dapat diperoleh dengan mudah di komunitas kampus-kampus di Indonesia. Saya pikir fasilitasi diskusi interaktif dua arah antar komunitas kampus, orang terdidik, terpelajar di Indonesia menjadi dasar utama bagi terbentuknya masyarakat cyber sesungguhnya bukan cybersemu yang dibatasi dimensi ruang dan waktu. Tentunya platform diskusi yang digunakan harus membuka dimensi ruang dan waktu itu sendiri, tidak mungkin kita membuat masyarakat pengetahuan jika dibatasi oleh ruang kelas, ruang seminar. Platform komunikasi dan media elektronik merupakan infrastruktur utama untuk interaksi utama di era cyber. Sebagian platform tersebut dapat dibangun secara murah dan swadana seperti konsep warnet. Jadi saya pikir jaringan pengetahuan dunia pendidikan menjadi kunci strategis utama bukan cybercity maupun inisiatif lain yang terbatas dimensi ruang dan waktu.
Tantangan besar lain adalah 80% tenaga kerja di Indonesia berpendidikan max. SD, sebuah seni tersendiri untuk mentransformasikan komunitas ini agar dapat berpartisipasi dengan baik. Mekanisme penyuaraan hati mereka harus dapat dilakukan tanpa proses perwakilan, media komunitas, koran komunitas dan radio komunitas barangkali merupakan solusi awal yang memungkinkan masyarakat lapisan bawah ini mengekspersikan pendapat dan isi hatinya tanpa dibatasi dimensi ruang dan waktu.