Filosofy: Siklus Pemurnian Pengetahuan
Dengan adanya teknologi informasi seperti Internet, proses siklus perputaran knowledge menjadi sangat cepat sekali. Platform kolaborasi untuk transfer tacit knowledge, digital library untuk management explicit knowledge dan kemampuan analisis dalam mengolah raw data menjadi knowledge menjadi terasa sebagai sebuah kesatuan terpadu dibantu teknologi informasi yang berfokus pada konsep knowledge management.
Untuk mengingatkan kita semua, saya masih berpendapat bahwa sebaiknya sebuah sistem pendidikan yang baik mengarahkan kita semua untuk menjadi produsen dari pengetahuan itu sendiri. Bukan hanya menjadi konsumen informasi dan pekerja yang baik saja.
Pada gambar digambarkan siklus pemurnian pengetahuan secara sederhana. Seseorang dalam prosesnya menganalisa dan mensintesa pengetahuan dari berbagai masukan yang dia peroleh kemudian di lemparkan kepada sebuah sistem yang akan mendistribusikan pengetahuan tersebut kepada khalayak ramai. Sistem pendistribusian ini dapat berupa penerbitan buku, artikel di jurnal, majalah, koran, perpusatakaan digital, CD-ROM dll. Umpan balik berupa kritik, saran maupun reward akan diperoleh baik dari lembaga dewa yang menjadi perantara masyarakat, peer review maupun langsung dari masyarakat. Berbasis kepada umpan balik yang diperoleh, pemurnian pengetahuan kemudian dilakukan dengan menjalani siklus tersebut berkali-kali hingga pengetahuan yang dihasilkan semakin hari semakin baik. Proses siklus menjadi demikian cepat jika dibantu dengan infrastruktur teknologi informasi yang sangat effisien.
Proteksi pengetahuan seperti HAKI, hak cipta, paten dan akreditasi bukan mustahil justru pada akhirnya akan menghambat percepatan siklus pengetahuan dalam platform informasi yang demikian cepat. Kelambatan dalam memutar siklus pengetahuan tersebut pada akhirnya harus diterima dengan konsekuensi kerugian intangible justru di sisi si peneliti maupun stake holder umat itu sendiri.
Dari pengalaman pribadi Onno W. Purbo, semasa masih menjadi dosen di ITB, moral dari cerita ini antara lain - sangat mudah sekali untuk mengecohkan ITB yang berpegang pada paradigma lama dalam monitoring, evaluasi & kenaikan pangkat yang menggunakan ITB sebagai perantara stake holder - sekelompok manusia di ITB yang mempunyai pengetahuan dan skill di bantu teknologi informasi, Internet & penguasaan konsep knowledge management dan konsep pendukung seperti information economics, information warfare & psychological warfare dapat melakukan manouver di tingkat nasional & internasional. Salah satu kuncinya ada pada pada peletakan posisi stake holder penelitian / pengetahuan & misi yang di emban-nya langsung pada masyarakat global bukan lembaga monitoring & evaluasi perantara seperti LP, LAPI, LPM, Jurusan, Fakultas dll.
Peletakan stake holder langsung pada masyarakat global justru ternyata berdampak sangat besar bagi kelompok-kelompok yang fluid, sebagai contoh di ITB ada kelompok Computer Network Resarch Group (CNRG) dan Knowledge Management Research Group (KMRG) sehingga pengakuan / acknowledgement justru dari khalayak ramai di luar ITB baik nasional maupun internasional.
Konsep yang sama akan terjadi juga jika kita tarik konsep ini ke Lembaga dewa yang dibentuk oleh DIKNAS seperti Badan Akreditasi Nasional (BAN). Benarkah ada orang / lembaga yang cukup sakti di negara ini yang dapat menentukan secara adil, bijak dan baik tentang kualitas sebuah program / institusi seperti yang tercantum dalam hukum tertulis di dunia pendidikan Indonesia. Apakah kita yakin 100% bahwa sebuah program study yang terakreditasi A oleh BAN mempunyai kualitas sangat baik? Apakah umat di Indonesia tidak pandai sehingga tidak bisa menilai kualitas sebuah lembaga / program jika transparansi informasi dilakukan dengan baik di platform informasi yang cepat?
Secara konseptual pengakuan masyarakat menjadi sangat feasible, sialnya, sebagian besar bangsa Indonesia masih mendewakan gelar, ijazah, akreditasi yang diberikan berbagai lembaga dewa yang ada di Indonesia. Akhirnya gelar aspal, asal gelar, ijazah aspal menjadi tujuan utamanya. Sayang sekali memang.