Filosofy: Kurikulum vs. Nyantri

From OnnoWiki
Jump to navigation Jump to search

Mari kita lanjutkan diskusi siklus pengetahuan ini dengan proses belajar mengajar. Terus terang, saya melihat sistem yang di anut oleh sistem pendidikan di Indonesia sangat baik untuk membentuk manusia yang menurut pada guru-nya, pandai menghafal, pandai menyelesaikan soal, pandai pada bidang-nya, dan mereka adalah pekerja yang baik.

Sebagai seorang profesional, sistem pendidikan formal di Indonesia tampaknya berhasil baik untuk menghasilkan seorang skilled workers, ahli analisis, dan pekerja yang bertumpu pada sebuah standar prosedur baku. Coba membebani lulusan ini untuk melakukan hal yang diluar jalur, melakukan disain rancang bangun yang baru, berfikir alternatif, kejelian melihat celah. Sangat sukar mengharapkan seorang profesional hasil didikan Indonesia untuk berfikir diluar jalur standar. Hanya segelintir lulusan yang mampu melakukan hal-hal diluar standar.

Untuk mempersulit masalah sebagai seorang manusia, sistem pendidikan di Indonesia tampaknya gagal untuk membentuk softskill yang kukuh pada diri seseorang. Sistem pendidikan formal tampaknya gagal membentuk softskill pada diri seseorang seperti pembentukan karakter, kepemimpinan, leadership, attitude, kreatifitas, innovatif. Biasanya softskill ini terbentuk pada mereka yang aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan aktifitas informal lainnya. Softskill ini sifatnya how-to, learning by doing sehingga amat sangat sulit untuk diajarkan secara teori di kelas.

Pertanyaan mendasarnya, mungkinkah kita menyatukan sistem pendidikan formal dan informal menjadi sebuah sinergi dalam pembentukan manusia seutuhnya?

Terus terang, pengalaman saya melakukan berdialog, berinteraksi, berdiskusi melalui banyak mailing list di Internet dengan ratusan mungkin ribuan mahasiswa dan siswa dari berbagai pelosok Indonesia, tampaknya pola nyantri (santri) seperti yang dilakukan di pesantren atau perguruan silat jaman dahulu menjadi sebuah alternatif yang menarik untuk pembentukan manusia secara utuh. Pembentukan manusia yang di customize untuk setiap manusia, berbeda satu manusia dengan manusia lainnya.

Proses yang dilakukan bukanlah teaching based, karena memang saya bukan superman yang tahu segalanya. Proses pembentukan manusia dilakukan secara learning based, saya dan para “santri” belajar bersama diantara kami. Tidak ada yang lebih pandai, tidak ada yang lebih bodoh, masing-masing manusia mempunyai kekuatannya masing-masing.

Saya pribadi selalu mendorong para “santri” ini untuk menjadi produsen pengetahuan karena hanya dengan menjadi produsen pengetahuan, seseorang akan menjadi konsumen pengetahuan yang baik, mampu menganalisa dan mensintesa masalah. Tentunya proses pembentukan manusia belumlah lengkap jika para “santri” ini tidak secara aktif masuk ke dalam siklus pemurnian pengetahuan, menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat, aktif berinteraksi dan menerima masukan / umpan balik.

Keaktifan seseorang dalam mempublikasi hasil produksi pengetahuannya dan berinteraksi dengan masyarakat pada akhirnya akan memperluas manfaat orang tersebut pada anggota masyarakat, komunitas dan umat manusia lainnya. Akibatnya, pengakuan akan keahlian seseorang akhirnya datang secara langsung dari masyarakat, bukan dari ijazah, bukan dari sertifikat, bukan dari gelar yang di pegang oleh seseorang tersebut.

Dengan teknologi informasi, proses pembentukan manusia melalui aktifitas dalam siklus pemurnian pengetahuan menjadi sebuah hal yang sangat mudah, murah dan sangat mungkin dilakukan di Indonesia. Secara praktis, alat bantu yang digunakan adalah komputer & Internet. Kita banyak bertumpu pada e-mail & mailing list untuk melakukan transfer tacit knowledge, dan Web untuk melakukan transfer explisit knowledge. Biaya yang dibutuhkan dapat ditekan beberapa ribu rupiah per bulan per orang dengan bantuan keberadaan warung Internet.

Apakah mekanisme ini merupakan e-learning? Entahlah, saya masih berfikir bahwa hal ini merupakan konsekuensi dari perubahan paradigma yang berbasis pada transformasi teknologi informasi.

Saya tidak akan memaksakan sistem pendidikan yang bernaung di bawah DIKNAS untuk mengadopsi secara keseluruhan dan mempertentangkan mekanisme yang cukup revolusioner ini. Saya masih berpegang pada pendapat,

“Either lead or follow but please don’t block the road for those who would move forward”.


Pranala Menarik