FB: Pokok Materi Forum Bandung untuk MPR

From OnnoWiki
Jump to navigation Jump to search

Pokok-pokok Materi FORUM BANDUNG untuk MPR

24 September 2012

Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, sesungguhnya Negara kita telah berdaulat sebagai sebuah negara yang diakui oleh negara negara lain didunia.

Setelah jatuhnya Orde Lama, lahirlah apa yang dinamakan Orde Baru yang berjanji “Akan Melaksanakan Pancasila & UUD 45 Secara Murni dan Konsekuen”. Namun dalam pelaksanaannya baik Sistem Demokrasi, Sistem Politik maupun Sistem Kekuasaan mendapatkan kritik pedas sejak awal pemerintahan di awal 70-an hingga jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998. Kritik terhadap Orde Baru terutama menyangkut pada pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI, dimarjinalisasinya peran Partai Politik dalam sistem yang seolah olah Demokratis namun dalam pekaksanaan berbangsa dan bernegara kebijakan politik dimonopoli Golkar cq. ABRI.

Sistem Pembangunan Orde Baru yang dikenal dengan Trilogi Pembangunan ternyata tidak berhasil meningkatkan taraf hidup sebagian besar rakyat Indonesia karena titik tumpu pembangunan adalah pelaku ekonomi besar. Angka di bawah garis kemiskinan masih tetap besar terlebih dan terutama di wilayah luar P Jawa. Program pemerataan ekonomi dalam Trilogi Pembangunan hanya sebatas harapan seakan pemerataan akan ada, sementara kenaikan GNP lebih disebabkan oleh pertumbuhan perusahaan skala raksasa. Maka pembangunan Orde Baru menyisakan sejumlah masalah seperti ketimpangan sosial, kepincangan dan ketidak adilan dalam menikmati kue pembangunan yang kesemuanya terjadi tidak terlepas dari adanya kelemahan dalam konstitusi.

Demokrasi yang mulai diterapkan pasca Orde Baru ternyata belum menyentuh substansi demokrasi, yakni Kedaulatan Rakyat. Praktek berdemokrasi masih sebatas Demokrasi Prosedural. Demokrasi hanya diartikan sekedar sebatas hak berkumpul, menyuarakan pendapat, dan/atau hak untuk berujuk rasa yang tidak jarang jauh melenceng dari nilai luhur ide demokrasi. Demokrasi belum sampai pada esensi untuk menjadikan rakyat bukan menjadi sekedar penduduk negeri. Demokrasi seharusnya menjadi ajang pendidikan terus menerus bagi rakyat untuk peduli, bertanggung jawab, sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Disini sesungguhnya fungsi dan tugas negara dalam melakukan pendidikan bagi bangsa. Sejak kemerdekaan hingga kini kita, sebagai bangsa, belum pernah menggarapnya secara serius. Inilah yang menyebabkan tercabik-cabiknya Demokrasi.

Demokrasi hingga kini masih diartikan sebatas hak rakyat untuk memilih Presiden/Wk Presiden, Kepala Daerah, dan melaksanakan pemilu legislatif di pusat, provinsi, hingga – dan ini ‘luar biasa’ – kabupaten dan kota. Dengan demikian Demokrasi hanya menampakkan diri sebagai sekedar ornamen atau asesori. Sesungguhnya selama lebih 10 tahun pasca Orde Baru, demokrasi telah dibajak oleh pemilik kapital. Demokrasi menjadi semacam ajang pertarungan antara ‘si kuat’ dan ‘si lemah’ atau antara pemilik kapital besar dengan yang tidak memilikinya. Sadar atau tidak sadar cara berdemokrasi semacam itu sesunguhnya membenturkan masyarakat berpunya dengan masyarakat kurang mampu. Manakala keadaan itu terus berlangsung, lambat atau cepat akan mengancam keutuhan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dimungkinkannya tata cara berdemokrasi yang demikian itu berpangkal pada sistem bernegara, a.l., karena kekurangajegan konstitusi yang berlaku dan diberlakukan saat ini. Maka konstitusi memerlukan evaluasi dan kaji ulang, khususnya oleh para ahli yang memiliki wawasan kenegaraan a.l., filsuf, ilmuwan, budayawan, dan pemuka masyarakat yang memahami kearifan lokal. Melalui proses ini dimunkinkan untuk hadirnya gambaran rumusan untuk kemudian diserahkan pada MPR, sebagai satu-satunya lembaga tinggi negara yang memiliki hak dan kewenangan konstitusional untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

Forum Bandung sangat menyadari bahwa permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah sedemikian rumit, tali-temali, dan berkelindan yang apabila tidak segera disikapi, bukan tidak mungkin akan menjurus pada situasi khaotik. Beberapa indikator a.l.,

Memudarnya nilai-nilai luhur Bangsa

Memudarnya nilai-nilai luhur kultur dan karakter bangsa akibat kurang atau tidak disadarinya akan pentingnya membangun “Nation and Character Building”. Melalui pembangunan “Nation and Character Building” Bangsa Indonesia akan dan bahkan harus kembali mengenal, arti dan makna Etika Politik dalam Berdemokrasi.

Krisis Kepercayaan (Distrust) terhadap Lembaga-lembaga Negara

Pasca Orde Baru, dalam eforia kebebasan, sejumlah lembaga negara terjebak dalam memahami kebebasan sebagai kebebasan lembaga untuk berbuat sesuka hati, yang berakibat pada malfunction pada pelaksanaan fungsi tugas lembaga. Negara tidak hadir sebagai pelindung bagi segenap warga negara yang tidak membedakan suku, agama, ras, aliran, ataupun golongan. Kini “rule of law” yang sering dikumandangkan hanya menjadi slogan kosong nir makna.

Demokrasi Prosedural

Demokrasi masih terus diartikan sebagai Demokrasi Prosedural bukan atau belum menyentuh substansi demokrasi. Demokrasi tidak boleh dipersempit menjadi sekedar demokasi politik, demokrasi harus juga diartikan sebagai demokrasi ekonomi. Demokrasi yang seharusnya merupakan cara untuk menyalurkan aspirasi dari bawah ke atas (bottom up), akan tetapi dalam praktek sejumlah partai masih menerapkan pola top down. Akibatnya ‘wakil rakyat’ yang dipilih dalam pemilu hanya menjadi ‘menara gading’ yang tidak mengenal lagi aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Kesenjangan antara prinsip Demokrasi dengan pelaksanaannya

Demokrasi sudah dikenal sejak abad pertengahan, bahkan semasa Yunani kuno akan tetapi dalam pelaksanaannya sering menjadi obyek kanibalisasi. Sebagai misal, dalam pelaksanaan pilkada masih terus berlangsung keluhan publik atas praktek kotor dalam pelaksanaan pemilu seperti money politics, kampanye yang bersifat primordial, dll. Materi kampanye masih belum berorientasi pada visi dan program. Maka kerap terjadinya konflik fisik horizontal sesungguhnya hanyalah produk dari ‘sistem’ demokrasi yang jauh dari peradaban dan keadaban publik, seperti tertuang dalam nilai nilai luhur Pancasila.

Solusi atas Masalah Multi Komplek harus bersifat Holistik dan Fundamental

Penyelesaian masalah multi komplek perlu pendekatan yang bersifat holistik dan fundamental. Penyelesaian tidak mungkin berhasil manakala masih terpaku penyelesaian di wilayah HILIR. Hampir semua masalah yang muncul di permukaan berpangkal di wilayah HULU, terutama menyangkut masalah Politik (dan Hukum), Ekonomi, dan Budaya.

Politik

Persoalan Politik menyangkut Sistem, Budaya, maupun Pelaku Politik yang kesemuanya terkait dengan Sistem Bernegara, Sistem Pemilu, Sistem Kepartaian, dll.

Ekonomi

Ekonomi tidak boleh terjebak pada pertarungan teori yang bersifat pro kontra tidak berujung. Ekonomi dimaksud harus mampu menjawab secara mendasar proses produksi, distribusi, dan konsumsi yang kesemuanya ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pengelolaan SDA, terlebih yang tidak terbarukan, sebagai misal, harus sesuai dengan amanat konstitusi. Pengelolaan SDA harus dikawal Negara. Negara harus hadir dalam melaksanakan fungsi utamanya, menciptakan iklim bagi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Maka dominasi dan kepemilikan aset ekonomi yang menyangkut kehidupan rakyat banyak tidak boleh terjadi.

Budaya

Budaya sebagai produk akal hasil dari cipta, rasa, dan karsa. Kebudayaan Indonesia adalah hasil dari puncak puncak kebudayaan Daerah karena bangsa Indonesia terdiri dari ribuan suku yang tersebar di belasan ribu pulau di seluruh nusantara. Bhinneka Tunggal Ika yang lahir dari kesadaran kenyataan geografis, antropologis dan sosiologis tidak untuk diartikan menjadi upaya penyeragaman dan/atau segala sesuatu yang serba sentralistik. Otonomi Daerah seyogyanya didasarkan atas aspirasi budaya sebagai manifestasi keaneka ragaman budaya. Artinya otonomi daerah tidak semata menyangkut hierarkis kekuasaan. Budaya dan kebudayaan tidaklah berdiri sendiri melainkan sebagai produk dari sejumlah lapisan budaya yang hidup di keluarga, masyarakat, suku di persada nusantara. Budaya sebagaimana halnya Masyarakat terus berkembang baik oleh sebab faktor internal maupun faktor eksternal. Ke depan Budaya seyogyanya diposisikan sebagai Ruh kebijakan Ekonomi dan Politik, tidak terkecuali Kekuasaan.

Keberadaan Indonesia harus dirasakan sebagai milik seluruh bangsa

Sejak ribuan tahun sejarah peradaban dan kebudayaan Indonesia tidak terpisahkan dengan kenyataan geografis sebagai bangsa yang terdiri atas ratusan suku yang menempati belasan ribu pulau di atas laut kurang lebih sebesar benua Eropa. Sejarah kebesaran kerajaan Nusantara, kerajaan Hindu hingga kerajaan Islam berpangkal pada Budaya Maritim.

Maka solusi atas masalah sedemikian besar yang tengah dihadapi bangsa harus dicari dan ditemukan oleh Bangsa Indonesia, selaku pemilik sah atas negara Republik Indonesia yang membentang dari Sabang hingga Merauke.

a.n. FORUM BANDUNG.

Ttd.

Hendarmin Ranadireksa Sekretaris Jenderal


Yang akan hadir dalam pertemuan FORUM BANDUNG dengan Pimpinan MPR 24 September 2012:

  1. Prof. Dr. Soedjana Sapiie. Ketua Presidium
  2. Hendarmin Ranadireksa. Presidium/Sekretaris Jenderal.
  3. Prof. Dr. Sri Soemantri. Presidium
  4. Prof. Dr. Sahari Besari. Presidium
  5. Prof. Dr. Joenil Kahar. Presidium
  6. Prof. Dr. Gde Raka. Presidium
  7. Prof. Dr. Frans Mardi Hartanto. Presidium
  8. Prof. Dr. T.Dzulkarnain Amin. Presidium
  9. Prof. Dr. Arief Sidharta. Presidium
  10. Prof. Jacob Sumardjo. Presidium
  11. Prof. Dr. Dede Mariana. Presidium
  12. Suparwan G.Parikesit SH., Mph. Presidium
  13. Taufick Rashid. Presidium
  14. Baktir Wahyudi. Presidium
  15. D.Soemarna Natadipoera. Presidium
  16. Darmawan Hardjakusumah SH,Not. (Acil Bimbo). Presidium
  17. Radhar Tribaskoro, MSi. Presidium
  18. Drs. Nanang Iskandar Ma’soem. Presidium
  19. Dr. Andy Talman. Presidium
  20. Ir. Ade Muhammad M.Han. Sekretariat.
  21. Drs. Asep Dedi. Sekretariat.
  22. Drs. Rizki. Sekretariat.


Pranala Menarik