YB0KO/1: Tentang Amatir Radio

From OnnoWiki
Jump to navigation Jump to search

CATATAN: Tulisan ini di ambil dari e-mail OM Bam YB0KO/1 kepada endah triastuti <dek_titut@hotmail.com>


1. ttg "breakers":

FYI, terminoloji "breaker" secara "resmi" tidak masuk dlm vocabulary radio amatir, walopun para amatir radio juga melakukan kegiatan ‘nge"break" sebagai bagian dari kegiatan radio amatir itu sendiri.

BREAKER lebih umum dipakai di lingkungan para CB-ers (CB = citizen-band = spektrum frekuensi 27 MHz ato band 11 mtr), ato yg di INA dikenal sebagai KRAP (Komunikasi Radio Antar Penduduk) dg RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia) sebagai wadahnya.

walaupun sbg "breaker"amatir radio dan CB-ers sama-sama meng-claim dirinya sbg OPERATOR Radio, di thn 70-an OM Soewondo YB0AT (SK) --> sebagai hobbiist beliau waktu itu menjabat sbg Ketua Umum ORARI Pusat, sedangkan sbg profesional (Marsekal Udara dg dua bintang di pundak) beliau adalah Ketua G-6 (membawahi bidang KOMLEK/komunikasi dan elektronika) HANKAM <-- pernah memberikan definisi utk membedakan kedua "species" pengguna frekuensi tsb, sbb.:

  Amatir Radio adalah (seorang) operator ber-lisensi (licenced operator) yg meng-operasi-kan (to operate) perangkat (radio) telekomunikasi-nya, sedangkan CB-er(s) adalah sekedar KOMUNIKATOR yang ber-komunikasi (to communicate) dengan menggunakan perangkat (radio) telekomunikasi, atau utk singkatnya sering disebutkan: A Radio Amateur IS an operator, while a breaker (CB-er) is merely a communicator.

 Krn-nya, utk membuktikan bhw seseorang memang MAMPU ato MUMPUNI (capable) utk mengoperasikan perangkat radionya (dlm kapasitas sebagai seorang Amatir Radio), maka orang tsb HARUS mengikuti ujian (negara) utk mendapatkan “laisens” (sekarang disebut IAR/Izin Amatir Radio)-nya.

Callsign (Prefix, Call Area dan Suffix)

Sebagai seorang Amatir Radio, begitu lulus ujian di samping mendapatkan IAR maka ybs akan mendapatkan tanda pengenal (Callsign), yang terdiri dari rangkaian huruf dan angka yang (di INA) terdiri dari dua huruf Prefix, angka Ø ~ 9 yg menunjukkan Call Area dimana ybs berdomisili, dan bbrp huruf Suffix (yg sifatnya individual, dlm arti “melekat” pada diri sipenyandangnya).

Prefix sekaligus menunjukkan tingkat kecakapan ybs, yg di INA terdiri dr huruf-huruf YH (tingkat Pemula), YD/YG (Siaga, seperti pada OM Yono yg YDØNXX), YC/YF (Penggalang, seperti OM Onno yg YC1DAV waktu masih di Bandung, dan YCØMLC sekarang) dan YB/YE (Penegak, seperti YBØAT (SK) yg sy sebut-sebut sepanjang thread ini).

Tingkat kecakapan akan menentukan privilege dan restriksi yg didapatkan ybs sebagai seorang operator Radio Amatir, mis. : mode yg digunakan dalam berkomunikasi (CW/telegrafi, voice: AM/FM/SSB, dijimode dsb), daya pancar (transmitted Power), frekwensi/band utk establishing QSO/ber-komunikasi, yg tentunya harus 2-way/dua arah: to send or transmitting information dan to receive information from the other side(s), seperti band 80m (frekuensi 3.500 – 3.900 MHz), 40m (7.000 – 7.200 MHz) …. 15m (21.000 – 21.350 MHz), 2m (144 – 148 MHz) … dll

[utk ditil/rincian deskripi/pertelaan ttg Callsign, privilege/restriksi yg valid (current) pd saat penulisan ini sila baca lampiran: PERMEN 33 thn 2009.pdf]

btw, rekans (ato dlm “slang” di antara sesame amatir biasa disebut “sodara sepupu”) CB-ers juga punya Callsign (JZ + angka + individual suffix), tetapi krn mereka bisa mendapatkan callsign tsb TANPA harus mengikuti ujian (cukup dg mendaftar/registrasi di sekretariat RAPI setempat) maka Prefix tsb tidak berkaitan dg ato menunjukkan tingkat kecakapan apapun. Regulasi seperti ini (CB-ers tidak harus mengikuti uijian) berlaku di semua Negara di mana kegiatan CB ato komunikasi antar penduduk di bolehkan menurut peraturan/perundangan yg berlaku di Negara tsb.

[di Amrik dan Australia –- sebelum ditemukan ato dipopulerkannya pemakaian telepon seluler --- CB ini pernah sangat populer di antara para truckers yg melayani route-route high-ways antar negara bagian (inter states) ataupun coast-to-coast.Di samping utk killing time mengatasi kejenuhan dlm perjalanan berjam-jam ato bahkan berhari-hari itu, CB juga mereka perlukan utk koordinasi antar mereka, dg kantor pusat maupun kantor di kota tujuan, back up lojistik (pompa bensin, motel di pinggir jalan, rest areas … zaman itu selalu dilengkapi dg perangkat CB ini). Juga utk saling mengingatkan kalo’ lagi ada razia petugas Highway Patrol, ato ada pos-pos speed radar (!!!) … Kalo’ anda sempat ato pernah nonton film “Smokey and the Bears” anda bisa saksikan kucing-kucingan antara para truckers dg polisi itu (sy dh lupa pastinya yg mana yg smokey dan yg mana yg beruang, but my gut’s feeling kok bilang smokey adalah julukan para sopir, dan the other way around sebutan bears apllies to the Police ;-D].


Catatan:

Zaman pra ORARI, Prefix yg dipakai di Indonesia (sejak masih zaman Hindia Belanda doeloe) adalah PK (seperti sy yg di zaman “moeda” doeloe pernah menyandang callsign PK3UYF), menuruti Prefix PAA – PZZ yg “pada zaman-nya” berlaku bagi negeri Belanda dan koloninya (spt Hindia Belanda dapat “jatah” huruf-huruf antara PKA-POZ, Netherlands Antilles PJA-PJZ, Brasil PPA – PYZ, Suriname PZA – PZZ, dll), yg “rawan” utk jadi “rancu”/confusing dg prefix yg sama yg dipakai dinas-dinas lain (misalnya callsign PKI dipakai oleh/diassign utk stasiun pantai (coastal station, di bawah DitPerLa – Direktorat Jenderal Perhubungan Laut) di Jakarta (dan juga utk kapal-kapal laut berbendera Indonesia, seperti armada PELNI), callsign PKGxxx dipake oleh pesawat-pesawat GARUDA, PKMxxx oleh MNA/Merpati Nusantara Airlines (dan dg huruf ke-3 yg berbeda utk airlines lain yg berbendera Indonesia, pengaturannya di bawah Dinas PenSip/Penerbangan Sipil, Ditjen Perhubungan Udara), PK2SC utk Radio Elshinta (CMIIW, tp “model” susunan huruf + angka spt itu berlaku di lingkungan Radio Siaran/broadcasters), … dll.

Sekitar thn 50an prefix JZ juga PERNAH dipake oleh amatir radio INDONESIA, khususnya oleh amatir radio asing (foreigners) yang mendapat izin utk ber-operasi di sini (mis.: OM Harry Diemondt JZØODA (ex PK1AD/PK4IM, yg mengindikasikan juga bhw sebelumnya ybs. pernah tinggal dan beroperasi dr Jawa Barat dan Sumatra Selatan), OM Henry J Schrier JZØKF ex PAØGF, yg menunjukkan ybs “asli”nya adalah amatir radio dr Negeri Belanda).

Angka Ø (zero) menunjukkan bahwa kedua amatir “bulé” tsb mengudara dr wilayah Papua, yg di zaman itu masih bernama "Netherlands Nieuw Guinea" (sekarang angka Ø mengindikasikan call area DKI Jakarta).

PS:

Kalo' pulang ke INA nanti, sebelum naik ke pesawat (ato dr jendela pesawat, sebelum take off) sila amati pesawat terbang yg berjejer di apron; di sayap dan ekor masing-masing pesawat terpampang jelas call sign PKxxx bagi pesawat berbendera Indonesia, VKxxx utk pesawat QANTAS, 9V utk pesawat SIA/Singapore Air Lines,HSxxx utk Thai Airlines,  Nxxx utk pesawat Northwest Airlines dr Amrik, dsb dsb  ...


2. ttg "breakers" legal dan illegal:

Dari blah-blah-blah di butir 1 di atas, tentunya bisa ditarik benang merah utk membedakan mana breaker yg legal (= mereka yg ber callsign), dan mana yg illegal (= those NON callsigners, tapi bekerja di frekuensi ato band yg sebenarnya assigned to those callsigners – yg tentunya tidak terbatas para Amatir Radio saja).

Di tahun-tahun “kebangkitan” radio amatir di INA, nyaris SEMUA pengguna frekuensi ini menyebut diri (dan kelompoknya) sebagai radio amatir atau radio eksperimen (disingkat Radam atau Radeks), dan pelan-pelan kemudian terjadi pemisahan antara mereka yg mengarah ke penggunanan radio sebagai sarana komunikasi 2-arah (disebut juga amatir QSO, atau amatir koling-kolingan – karena radionya dipakai utk saling “Call” atau “memanggil”); dan mereka yg lebih mengarah ke penggunaan radio sebagai sarana siaran (broadcast) yg sifatnya one-way.

Pada awalnya “pemisahan” ini tidak terlalu tegas dan kasat mata, krn banyak (atau bisa dibilang hampir semua) yg menjalani peran ganda: siang hari radio-nya dipakai utk siaran (dg “pola” yg nyaris sama di seluruh negeri: puter lagu, kirim-kiriman salam sayang, atau yg lebih “smart” lantas menjual “kupon” stensilan - - jaman itu belum ada mesin fotokopi - -  utk acara “anda meminta kami memutar” atau sejenisnya); kemudian di malam hari, lewat jam 23.00 keatas “siaran”nya ditutup dan radionya kemudian dipakai utk koling-kolingan tsb., yg sebenarnya bertolak dr niatan utk mengecek sampai seberapa jauh pancarannya bisa diterima. Banyak yg sebenarnya “tanpa sengaja”, atau tanpa tahu KENAPA lantas menggunakan frekwensi yg secara tehnis memang memungkinkan komunikasi jarak jauh di MALAM HARI, karenanya pd era itu amatir koling-kolingan ini lebih identik dg mata merah dan tampang lusuh krn kebiasaan “ngalong”, bergadang sampai pagi di depan pemancar (plus tubuh kerempeng karena terdadah/exposed ke pancaran RF dr pemancar tabung (valve/tube) yg umumnya tidak diberikan shielding yg memadai secara tehnis).

Sejalan dg upaya pembinaan dr pihak otoritas (lihat paragraph berikut ttg “sweeping”) dan “kesadaran” dari para amatir sendiri, pelan-pelan “pemisahan” mulai terlihat tegas: antara mereka yg  bercallsign dan bekerja di band/frekuesi yg memang assigned/jatah Radio Amatir*), dan para Radio Gelap (bahasa kerennya “clandestine radio”) yg bekerja di frekwensi, mode dan operating procedures yg “suka-suka dia” aja (misalnya dg seharian muter lagu tanpa jeda, nyerocos “siaran” tanpa menyebutkan identitas dan lokasi, “mojok” ato kencan di udara serta berjens ulah dan laku “lajak” lainnya ...)

  • ) sampai thn. 70an, di radio penerima “rumahan” – yg dipakai ortu ato kakek nenek kita ‘ndengerin misalnya Ketoprak Mataram dr RRI Nusantara II Yogyakarta, ato gending/tembang Cianjuran dr pesinden Upit Sarimanah dr RRI Bandung – terutama dr jenis pesawat radio “berkelas” dg merk-merk Eropah spt Philips, Erres, Grundig, Löwe dsb di papan gelombangnya  tertulis (ato ditandai) dg jelas “band assignment” tsb, misalnya dg tulisan: 80m Amateur Radio band … di samping tanda-tanda/markings utk broadcast band, seperti 120m, 90m, 75m, 60m, 49m, 41m dst …)

Mengikuti perjalanan waktu (dan bertambah pinter-nya para ”oknum” yg memang demen ber’laku lajak” itu) peta (mapping) per-radio-an di tanah air justru makin kesini makin bertambah KUSUT, spt yg sy wedar [asal kata wedaran (Jw) = perut, isi perut, jadi ‘ngawedar  = mengeluarkan isi perut (ato uneg-uneg), ato curhat dlm bahasa gaul skrng] di paragap berikut …


3. ttg “sweeping”

Di manapun di muka bumi ini – terlebih di negri negri “beradab” – “sweeping” ato “razia” sebagai bagian ato bentuk dr upaya penegakan hukum (law enforcement) selalu bisa ditemui, walopun “kadar” dr tindak lanjut yg mengikuti sweeping tsb bisa berbeda spt langit dan bumi antara di satu negeri/Negara dg negeri/Negara lain.

Di INA, pd zaman Orla, sweeping bisa dilakukan aparat KODIM setempat (ini sesuai dg kondisi HANKAMNAS waktu itu yg berada dlm status SOB/Staat van Oorlog en Beleg ato harafiah berarti “dlm keadaan perang dan pengepungan”) yg merazia dr pintu-ke-pintu utk mencari para SWL/short wave listener **) – hobiist pendengar siaran radio di gelombang pendek, yg di zaman konfrontasi dengan Malaysia itu curi-curi ‘nguping (bener-bener kuping ditempelin speaker radio, spy nggak kedengaran sampai keluar rumah) mendengar siaran dr Radio Malaysia (di gelombang 49 dan 41m), VOA/Voice of America (a.l. di gelombang 25m), BBC London (dg banyak relay stations di kawasan “Timur Jauh” ini, sehingga bisa dg mudah ditangkap di 60, 49, 41, 31 dan 25m) yang memang di”haram”kan oleh Pemerintah pd waktu itu (yg menganggap Malaysia adalah “negara boneka NEKOLIM/neo kolonialisme dan imperialisme” bentukan Inggris dan Amerika). Di samping radio di sita, kalo’ lagi sial pemiliknya bisa-bisa dijatuhi hukuman kurungan, ato lebih sial lagi di”cap” mata-mata, dan hukumannya jadi masuk ranah hukum pidana “subversib”.

    • ) banyak amatir radio yg mengawali ke”gila”annya sama radio dg menjadi SWL ini. Seperti sy sebut di atas, di pesawat radio zaman lawas di papan (display) gelombangnya selalu ditandai/tercantum band (ato gelombang) utk Amatir radio, yg kebetulan (sebenarnya bukan “kebetulan” dlm arti “fortunately”, krn semua itu ada dasar hukum (RR/Radio Regulation yg dikeluarkan oleh ITU/International Telecommunication Union, regulator global/mondial yg berpusat di Geneve, Switzerland) dan pertimbangan plus perhitungan tehnis-nya) selalu berada dekat-dekat dg band yg dijatahkan utk radio siaran (broadcast), misalnya band amatir 80m dekat ato berjejeran dg “riak gelombang” (begitu istilah yg dipakai para penyiar radio zaman itu) 75m (dr jadoel ada stasiun RRI – ato NIROM pd zaman Hindia Belanda – dr Semarang, Soerabaia, Mataram, kemudian dr luar ada All India Radio, BBC ….), kemudian band amatir 40m berjejeran dg gelombang 41m, band amatir 20m berada dekat gelombang 25m dst ..).

Sejalan dg curiosity, eagerness to know more dan naluri berburu (hunting) “stasiun BARU”, sifat-sifat dasar amatir radio yg sebenarnya juga dimiliki para SWL, tidak mustahil jari-jemari yg muter tombol pencari gelombang membawanya nyasar ke salah satu band amatir yg disebut di atas, yg bagi mereka tentunya akan menarik sekali utk mengamati bagaimana para amatir radio tsb saling ber two-way communication (ketimbang radio siaran yg sifatnya one-way), saling mengirim QSL-cards (acknowledgement atas well established-nya sebuah QSO - - yg  juga merupakan kebiasaan di lingkungan SWL).

Karena kesamaan “naluri” inilah banyak SWL yg semula hanya menjadi “pendengar pasip” lantas stepping forward dg ikut UNAR dan bermetamorfosa menjadi amatir radio, dan karena sebelumnya sudah bertahun terbiasa (dg/dari mendengar) dengan operating procedures yg baik, biasanya mereka kemudian menjadi amatir radio yg baik juga.

Di era kebangkitan Orde Baru dan kebangkitan radio non RRI dan non siaran, sweeping dilakukan oleh aparat gabungan (misalnya SKOGAR – tingkat Garnizun ato ke-wali kota-an, KMKB-DR/komando Militer Kota Besar Djakarta Raya, ato gabungan aparat di bawah koordinasi HUBDAM setempat utk kota-kota besar lainnya. Sasaran sweeping adalah para radio gelap yg disebut di para. 2, dan sejalan dg filosofi SECURITY APPROACH (baca: alinea terakhir halaman 1 dst. pd ORARI sbg wadah tunggal.pdf – orèk-orèkan yg sy tulis dlm menanggapi Siaran Pers No. 79/PIH/KOMINFO/3/2009 tentang Rancangan Peraturan Menteri Kominfo Mengenai Penyelenggaraan Amatir Radio)

yg dianut fihak otoritas pd masa itu, sangsi (kalo’ ketangkap) juga cukup berat, minimal pemancar (dan peralatan studio lainnya) di sita, dan “operator”nya di-inepin di sel-sel tahanan institusi militer tsb (BUKAN di tahanan kepolisian atau kejaksaan seperti pada kasus-kasus pelanggaran di ranah sipil/civilian biasa).

Beruntung rekans yg tinggal di Bandung (dan Jawa Barat umumnya), aparat yg bergabung di bawah Komando Pertahanan Subversi Daerah dbp AKBP Tommy Fattah bersikap lebih luwes (ketimbang di daerah lain) dalam “mengawasi” kegiatan illegal ini. “Pemanggilan” terhadap para aktivist per-radio-an (baik yg 2-way maupun yg one-way) tersebut lebih bersifat ke upaya pembinaan, yg bermuara ke pembentukan “organisasi” PARB (Persatuan Amtir Radio Bandung) -- yg notabene akan memudahkan fungsi kontrol/pengawasan – yg akhirnya menjadi salah satu embrio bagi terbentuknya ORARI, organisasi amatir radio yg berskala nasional. 

[ada bbrp rekan amatir yg percaya hal tsb tidak lepas dari arahan Jendral Polisi Hoegeng YBØBG, KAPOLRI pada saat itu, yg dikenal sebagai pribadi dan amatir radio yg humble, sedikit bicara tp banyak bertindak nyata.

Manakala situasi sudah “aman terkendali” (jargon yg saat itu populer di lingkungan otoritas), nama AKBP Tommy Fattah tsb diabadikan dlm bentuk TOMMY FATTAH Memorial Station dg callsign YB1ZA]

Pola yg sama berlaku juga di daerah-daerah lain (Jateng, JAtim, KalBar dll), di tempat-tempat mana fihak otoritas “kebetulan” berada ditangan pejabat yg mengerti dan/atau mau mengerti (apalagi kalo sampai appreciate) dinamika yg berlangsung di lingkungan per-radio-an itu. Di tempat-tempat seperti itu kemudian muncul dan terbentuk organisasi amatir radio seperti PARI (Persatuan Amatir Radio), PRAI (Persatuan Radio Amatir Indonesia), PRAJOGA (Persatuan Radio Amatir Jogjakarta) dsb.

Situasi “aman terkendali” dimana-mana secara bertahap mendorong Pemerintah utk mengalihkan fungsi control dan pengawasan dari fihak militer ke fihak sipil, yg dalam hal ini berada dibawah Departemen Perhubungan (dan kemudian Dep. KOMINFO), dg Ditjen POSTEL dan dinas terkait (spt dulu ada Dinas Monitoring dan Pengendalian Spektrum Frekuensi, atau yg sekarang disebut BALMON/Balai Monitoring) sbg institusi pelaksananya.

Di lapangan (atau dunia nyata, the real world), mengendornya pengawasan dan melunaknya sanksi yg diberikan atas pelanggaran di hampir semua lini kehidupan bernegara, membuat fenomena “kenapa harus legal - -  dan bayar lebih – kalo’ do it illegal way  toh bisa berjalan aman-aman saja” kian hari kian merebak hampir di seantero kawasan negeri (!)

Law enforcement seolah jadi slogan kosong, yang membuat mereka “yg masih waras” dan menafikan “ora melu edan ora keduman” (kalo’ nggak ikut gila nggak kebagian) hanya bisa ‘ngelus dada (yg mostly “no longer perky” itu)

Di bidang radio dan penggunaan frekuensi, diberlakukannyanya berjenis peraturan yg dianggap “merepotkan” mendorong para “calon” pengguna frekuensi utk mengambil jalan pintas: do it the illegal way, apalagi kemudian tumbuh dan berkembang paradigma baru: UUD, ujung-ujungnya duit ..

(sebut saja misalnya keharusan memiliki IAR bagi amatir radio; call sign RAPI yg toh bisa didapat dengan hanya mendaftar ke Sekretariat; stasiun broadcast non RRI –- lazim disebut radio siaran swasta niaga -- -  harus dikelola oleh Badan Hukum; birokrasi dlm pengurusan izin utk memiliki dan menggunakan pemancar bagi pengguna komersial yg memerlukan komunikasi antara kantor Pusat yg biasanya berada di Jakarta dan daerah operasi yg tersebar di pulau-pulau yg berada diluar jangkauan sarana Telekom reguler (= jaringan telpon dr PERUMTEL).

Contoh kasus lain adalah mahal dan lamanya masa tunggu pd pengadaan sambungan telepon di kota-kota besar -- bahkan di Jakarta sendiri -- , akhirnya mendorong calon pelangan telpon di Jakarta dan kota-kota besar lainnya utk kemudian beralih menggunakan pesawat atau HT/handy talkie di band 2m.

Akibatnya bisa diduga, pemancar gelap muncul di mana-mana, di semua spektrum frekuensi (HF, VHF …), dengan dilatari berragam motivasi yg mendorong timbulnya keinginan atau kebutuhan utk “mengudara”. a.l. karena iseng (biasanya dengan muter lagu seperti di saat mulai tumbuhnya radio siaran seperti disebut di depan); frustasi krn tidak lulus sesudah beberapa kali ikut ujian (biasanya lantas jadi tukang nge-JAM/jammer, yg “menimpa” dan mengganggu pancaran stasiun-stasiun legal); “jealousy” (krn melihat rekan lain “bebas” berlaku lajak, kenapa aku tidak “boleh” melakukan hal yg sama ???); duit (misalnya seorang, atau sekelompok orang, atau bisa saja berbentuk perusahaan, yg menerima imbalan utk setting up sistim komunikasi bagi perusahaan atau instansi tertentu, serta menyelenggarakan jasa perawatan dan perbaikan – maintenance and repair services – bagi sistim yg sudah dipasangnya).

[to illustrate how bad situation was at that time, following are stories frm my own “memory”:

di awal 80an, sy mendapat masalah wkt memperkenalkan dan memperagakan teknoloji satellite navigation/positioning di kantor Janhidros (Jawatan Hidrografi dan Oceanografi) TNI/AL di jl Gunungsahari,  dihadapan para pejabat Janhidros dan BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional). Masalahnya, perangkat MAGNAVOX MX-1502 yg jauh-jauh kami datangkan dr Torrance, CA jadi “budeg”, dan tidak bisa mendeteksi satelite pass  yg lewat di angkasa di atas Jakarta (diperlukan minimal 3 lintasan satelit utk computing posisi/lokasi kami saat itu). Selidik punya selidik, dg Spektrum Analyzer ketahuan bahwa udara Jakarta dr seputaran bunderan HI (jl Thamrin) sampai teluk Jakarta ternyata dipenuhi “luberan” pancaran pemancar-pemancar di band 2m (MESTINYAnya sih bekerja di spektrum 144–148 MHz) yg seolah mengambang, menutupi dan mengeblok  sinyal di frek 150 Mhz yg datang dr satelit-satelit yg melintas diatas sana.

(kurang lebih seminggu sebelumnya, demo serupa berhasil dg sempurna waktu kami adakan di sebuah hotel di Singapura, dg antena yg di”glethakin” begitu aja di teras hotel).

Masih “urusan dalam negeri”, pada kurun waktu yg hampir sama, upaya beberapa rekans di beberapa bagian Jakarta – umumnya di Jakarta Barat dan Utara (tidak termasuk sy yg tinggal di Jakarta Timur), utk me-monitor dan memberikan laboran penerimaan sinyal yg dipancarkan roket-roket eksperimentil yg diluncurkan LAPAN dr Pamungpeuk juga gagal, karena sinyal  tsb tidak bisa “menembus” udara Jakarta yg sdh demikian crowded dg spurious signals dr pemancar-pemancar “liar” tsb.

Dan, yg menyangkut nama NKRI di percaturan publik telekom internasional adalah gangguan-gangguan (interference) yg ditimbulkan oleh sinyal yg dipancarkan oleh pemancar-pemancar liar tersebut kepada jaringan atau trafik telekomunikasi lintas batas atau internasional, misalnya pada kasus-kasus berikut:

 

  1. di band VHF: repeater pd satelit-satelit OSCAR/orbitting satellite carrying amateur radio secara otomatis akan dimatikan setiap kali melintasi wilayah udara Indonesia, karena transmitter-nya akan ter”trigger” oleh spurious signals dr daratan Indonesia utk bekerja secara terus menerus (continuously ON) – yg dapat meng-degradasi-kan kinerjanya atau bahkan bisa rusak krn kepanasan, serta kehabisan “tenaga” krn suplai dr baterai tenaga surya (solar cells) yg kapasitasnya memang terbatas tidak cukup cepat utk recovering  power drain yg berlebihan akibat terus-terusan ON tsb.
  2. di band HF: gangguan pada MARITIME DISTRESS FREQUENCY 2.8xx MHz (komunikasi emergency atau “marabahaya”) oleh pancaran-pancaran “liar” di frekuensi sekitar 3 MHz (gelombang 100m, karenanya operator yg bekerja di situ biasa disebut dg sebutan “operator cepèkan” (cepèk = 100 dlm dialek Mandarin “pasar”). (btw, sebenarnya banyak di antara operator cepèkan ini adalah tehnisi yg handal, krn rata-rata yg bekerja disitu menggunakan  homebrew radios (radio yg mereka bikin sndr), yg secara tehnis banyak yg memang bagus kwalitasnya, hampir layak disebut sebagai work of art (kerja seni). Tapi itulah, sbg seniman di bidangnya, kebanyakan mereka tidak mau repot dg hal-hal “administratip” seperti urusan pendaftaran, ujian, batasan frekuensi, power output dsb., yg dianggap mengganggu “kebebasan” mereka) Hal yg sama bisa juga terjadi pd kanal emergency yg lain di 8.2xx Mhz, atau pd frequency yg digunakan oleh ATC/air traffic controller utk mengatur lalulintas pernerbangan (gangguan pada frekuensi ini lbh banyak disebabkan oleh pancaran harmonisa (harmonics)dan spurious dr pemancar yg bekerja di rentang frekuensi 4 – 6 MHz)
  3. hal-hal illegal akan tumbuh subur di habitat yg illegal pula: dimana-mana merebak illegal logging (pembalakan liar), illegal mining (misalnya penambangan pasir besi), illegal fishing (ini malah diperburuk dg beroperasinya kapal-kapal nelayan asing yg mencuri ikan diperairan NKRI). Illegal operation atau business di berbagai sektor tsb memerlukan radio utk menunjang operasi mereka: komunikasi antara kantor pusat (biasanya di Jakarta) dg lapangan, koordinasi lojistik, koordinasi transaksional (misalnya proses delivery logs/kayu gelondongan hasil pembalakan liar, atau mineral hasil penambangan liar: pasir besi, bauxit, batubara …) kepada pembeli atau penadah yg dilakukan di tengah laut, atau diperairan perbatasan dg negeri tetangga). Di lapangan mereka menggunakan perangkat VHF (= rig dan HT 2m) atau ada juga beberapa yg menggunakan perangkat UHF di band 70cm, misalnya utk komunikasi jarak dekat dan LOS/line of sight (= sepanjang garis pandang lurus tanpa penghalang/ obstacle antara pengguna, misalnya utk komunikasi di lingkungan SATPAM/satuan pengamanan, atau petugas sekuriti perkantoran), sedangkan utk komukasi antar pulau, darat-ke-kapal atau sebaliknya, atau antar kapal mereka menggunakan alkom (alat komunikasi) yg bekerja di band HF.

Alkom yg “relatip murah” adalah alkom yg khusus diproduksi untuk penggunaan di amatir band; yg kebanyakan adalah buatan dan merk-merk dr Jepang, seperti Yaesu, Kenwood, ICOM, Alinco ..  ato sedikit merk Amerika seperti TenTec, SGC, Elecraft.

(Catatan: kecuali merk Elecraft, semua produsen tsb juga mengeluarkan versi (untuk penggunaan di lingkungan) komersial, bahkan versi militer).

Nah, tentunya bisa dibayangkan bgmn semrawutnya spektrum frekuensi HF dan VHF yang dipenuhi pancaran “liar” dari pengguna “liar” seperti ini. Apalagi dalam kondisi propagasi dan jam-jam tertentu pancaran di band HF bisa diterima (dipantau) dan terdengar serta mengganggu di tempat yg ribuan KM jaraknya dari asal pancaran)

Atas gangguan tersebut protes resmi dalam berbagai bentuk sudah disampaikan ke fihak otoritas NKRI, juga dalam forum atau sidang badan-badan regulatory international (seperti ITU, ato forum NGO yg membidangi telekomunikasi seperti IARU, WARC dsb) dari tahun ke tahun perwakilan NKRI harus bertebal (dan merah) muka menghadapi  cecaran komplaint dr berbagai fihak yg merasa terganggu dan dirugikan.

Kembali ke dunia nyata, sweeping yg secara sporadis dilakukan sering terjadi malah “salah sasaran”: bisa terjadi malah setasiun amatir radio resmi yg digerebek, pemilik setasiun harus bisa menunjukkan IAR dan KTA-nya yg ASLI (bukan fotokopi), atau dicari–cari kesalahannya seperti harus bisa menunjukkan  Invoice (bukti pembelian) dari pemancarnya, surat izin penggunaan pesawat (IPPRA), Logbook, papan nama …. dsb.  

Juga terjadi adanya “tebang pilih” dlm pelaksanaan sweeping, dimana Petugas hanya berani melakukan  sweeping di dan ke daerah-daerah pinggiran, kalu perlu sampai masuk ke gang sempit (asal dr jauh kelihatan ada tiang antena yg terpancang).

Jarang atau bahkan tidak pernah terdengar sweeping dilakukan di rumah-rumah berpagar tinggi dan dijaga SATPAM, walaupun sudah menjadi rahasia umum SIAPA oknum di belakang illegal logging, illegal mining dan hal-hal lain yg serba illegal tersebut.

Yang lebih mengesalkan lagi adalah banyak kasus dimana sweeping tsb adalah sekedar ”kedok” dari ulah jahil Petugas, krn penyelesaian “damai” atau “di bawah meja” selalu ditawarkan pada kesempatan pertama (yup, peng-ejawantah-an tersamar (disguised manifestation) dr policy yg serba UUD, yg menjadikankan lemah dan mandulnya fungsi Law enforcement seperti disebut di depan)

4. ttg habibie's kids

Despite apa yg disampaikan OM Onno, quote … “Memang awal Internet di Indonesia di motori oleh kita-kita yang belajar di luar negeri karena beasiswa utangan World Bank & juga dari MENRISTEK waktu itu ... saya sendiri dapet-nya dari World Bank tapi jalur DIKNAS bukan RISTEK” … unquote,

sebagai seorang amatir sy lbh setuju dg yg mbak Titut bilang, quote …. “it was people of your kind, the hobbyists that had nothing to do with Indonesian government, who set the baseline for Internet establishment in Indonesia … unquote, karena doing things tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan materi dalam membawa diri dan bangsanya utk selalu berada di depan dlm penguasaan ilmu pengetahuan dan teknoloji adalah sejalan dg yg tersirat dlm kode etik ke 3 Amatir Radio:

The Radio Amateur is PROGRESSIVE … with knowledge abreast of science ….***)

      • ) Kode Etik Amatir Radio aslinya ditulis Paul M Segal W9EEA di thn 1928, yg mencantumkan (disingkat):

The Radio Amateurr is: CONSIDERATE, LOYAL, PROGRESSIVE, FRIENDLY, BALANCED and PATRIOTIC .

Saya pribadi – walopun bukan jebolan ITB – dg melihat nama-nama yg “terlibat” dalam kisah “mulo bukané internet ing tanah Indonesia” (eh, mbak Titut ini berlatar blakang etnis Jawa dan berbahasa ibu (mother’s tongue) Jawi bukan sih?), kok lbh cenderung utk menyebut mereka ini sebagai the Iskandar Alisyahbana’s kids.

Prof. Iskandar Alisyahbana adalah rektor ITB yg semasa menjabat selalu menekankan fungsi kampus dan civitas academica sbg “the agent of CHANGE”, tentunya salah satunya adalah perubahan dr kita -- sebagai bangsa – yg semula “bodo” (may I name it: scientifically retarded) menjadi “pinter” dan melek teknoloji.

Perubahan berupa lompatan ke depan di bidang telekomunikasi Indonesia yg semula berbasis teknoloji HF ke teknoloji satelit pd orde Giga Hertz adalah “baby” beliau, yg dimotori oleh anak-anak didik beliau. Teknoloji komunikasi data, internet dsb yg merupakan pengembangan ato a step forward di bidang teknoloji telekomunikasi tentunya tidak lepas dr sentuhan the Iskandar Alisyahbana’s kids ini

[OM Onno, pse pse pse CMIIW (!!!)]

5. ttg regulasi (Policy yang berubah, kontroversi ttg istilah organisasi, wadah tunggal, dll ) 

Regulasi berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Keputusan Dirjen dsb dapat disimak di lampiran ORARI sbg wadah tunggal.pdf, sedangkan perubahan kebijakan dalam pengaturan frekuensi (Band plan) yang paling current tercantum dalam PerMen 33/2009.pdf terlampir.

[Bagi sy pribadi yg sdh lebih dr 40 thn menggeluti hobby ini, perubahan kebijakan yg cukup signifikan adalah diberikan privilege (dg batasan-batasan tertentu) bagi amatir tingkat SIAGA, yg melebihi privilege bagi amatir tingkat NOVICE di Amerika, yg selama ini menjadi rujukan hampir semua institusi radio amatir di dunia (a.l. diperbolehkannya tingkat Siaga utk bekerja dg mode Voice di band 40m, yg semula merupakan privilege eksklusip bagi penyandang  tingkat Penggalang dan Penegak, apalagi dg Permen 33/2009 spektrum band 40m sudah diperlebar 100 KHz dari semula hanya dari 7.000 – 7.100 MHz menjadi dr 7.000 – 7.200 MHz]


6.  I've learnt: menulis urutan sejarah itu susah ya? …..

Yessss, indeed ….

Sy yg ikut dlm Tim Penelusuran Sejarah ORARI Pusat merasakan itu juga (!)

Banyak masukkan dr mereka yg memang bisa masuk kategori “pelaku sejarah” (malah dg embel-embel: jangan lupa dimasukin ya … !?), tetapi banyak di antara masukan tsb yg sifatnya subjective, sehingga lbh cocok utk disebut sbg memoar ketimbang sbg dokumen sejarah.

Memoar lebih cocok diterbitkan di BLOG ybs (nah, ini bisa jadi bahan disertasi anda juga kan ..!?), ato dijadikan bahan bg penulisan otobiografi ato biografi seseorang, tp TIDAK utk penulisan sejarah

Kalo’ penyuntingnya pinter, di samping sbg compilation of memoars, Blog juga bisa jadi KRONIK (chronicle), penyampaian secara runut dan urut kejadian (event, happening) yg berkaitan atau dilakukan dg kegiatan si Blogger.

Nah, bisa dibayangkan bgmn tebal (dan membosankan)–nya sebuah dokumen sejarah yg hanya sekedar merupakan hard copy ato printout dr Blog (atau Blogs) dr seorang atau sekelompok zo genaamd “pelaku sejarah” seperti itu kan … !?

Ato, sederhananya – siapapun akan cepet jadi bosan dan fed up kalo’ harus membaca potongan-potongan cerita yg sy tulis secara random di sepanjang imil ini, dimana berulang kali disebut SAYA, SAYA dan SAYA sbg pelaku ato nara sumbernya .., kecuali kalu semua itu sy kumpulkan dlm satu memoar, ato kronikel, dan sy bagikan gratisan kepada mereka yg memang ‘nge-FAN abizzzzz sama saya ;-D

So, good luck with ur BAB – I ….. (!)

Penutup

For sure orèk- orèkan ini TIDAK akan bisa anda masukin di Bab I makalah anda, tp paling nggak bisalah kiranya menjadi bahan rujukan, ato pun sekedar buat dibaca-baca di ruang tunggu kalo’ mau bertemu Philip Kitley, dosen pembimbing Anda.

Semoga juga ini bisa menjadikan anda tahu lbh dekat ttg berbagai aspek dr Radio Amatir (the hobby, kegiatannya) yg begitu beragam (baca: HAMIL Sat 0101.pdf; Outer space exploration … pdf terlampir), Amatir Radio (the individuals, dg membaca bbrp Profiles yg seblumnya sy kirim), ORARI (the organization, baca lagi: ORARI sbg WADAH TUNGGAL.pdf).

Di samping utk menambah wacana, brngkali bisa juga utk bahan cerita ke anak cucu kalo’ ada yg nanya: apa aja sih yg buDe (ato eyang putri) Titut pelajari selama ing paran (di rantau, di ose-tra-lia****) ini) ???

[OOT, sekedar berbagi cerita: sy sndr yg sebelumnya pernah merasa “tidak perlu tahu” trus berbalik 180 degrees jd “pingin & mau tahu” lirik lengkap dr lagu (keroncong) Yen in Tawang ono Lintang (“hit” dari penyanyi keroncong legendaris Waljinah) - - yg sampe skrng (setelah sy tahu) suka jd bikin mata sy basah dan dada nyeseg -- justru krn suatu pagi di thn 1983 di coffee shop Hiruton Hoteru (Hotel Hilton) Tokyo (thus dlm sikon ing paran juga) diputerin lagu itu, waktu suatu pagi sy jadi orang pertama yg masuk ke situ, janjian sama si Jepun yg jadi host sy selama sy berada di sana.

Di samping ada cook yg “orang jawa”, the following morning sy baru “ngah” coffee shop itu namanya “Bengawan Solo” (pernah dipake utk menjamu Gesang wkt bliao diundang komunitas fans bliao, yg kalo’ nggak salah belakangan juga sampe berhasil mengusahakan bliao mendapatkan royalty utk lagu-lagunya yg cukup banyak penggemar di Jepun sono).

Belakangan lagi, setelah di suatu hari minggu sy minta diantar Yoshi-san (yg host sy itu) ke toko buku Dempa (one of leading publishers and book stores di Jepun) di Sinjuku utk cari majalah CQ edisi terakhir (ini majalah komunitas radio amatir Jepun, diterbitkan oleh JARL/Japan Amateur Radio League), sy baru “ngah” kalo’ Yoshi-san ini walopun BUKAN amatir radio, tapi pernah ikut dalam/sbg Support Team pd bbrp kali ekspedisi  petualang, pendaki gunung, penjelajah kutub Naomi Uemura JG1QFW, amatir radio Jepun yg sudah menaklukkan 4 puncak gunung tertinggi di bumi (Kilimanjaro di Tanzania, Aconcagua di Argentina, MontBlanc dan Matterhorn (dua-duanya di sisi yg berbeda dr peg. Alpen, Switzerland), mengarungi (rafting) S Amazone dan melintasi kutub Utara dan Selatan – yg semuanya dilakukannya dg berjalan kaki (kecuali tentunya waktu rafting di S Amazone), seorang diri.

(saat makan siang di kantin perusahaan, Yoshi menunjukkan tangannya, yg bbrp jarinya terpaksa dipotong krn frost-bite, wkt suatu malam tanpa sadar tangan tsb (tanpa gloves) terjulur keluar dari “pintu” kemahnya). Setahun sesudah perkenalan sy dg Yoshi-san tsb, media dunia a.l.  majalah TIME dan QST, majalah amatir terbitan ARRL/American Radio Relay League edisi May, 1984) memberitakan bhw pd 13 Febr 1984 Naomi “menghilang” di kebekuan (dan kegelapan) udara di lereng Mt McKinley, gunung tertinggi di Kutub Utara (Arctic) …., jauh di utara Alaska sana.

Pd kontak (radio) terakhir dg pilot pesawat yg membawa juru foto yg “menjejaki”nya, Naomi menyebutkan bhw dia SUDAH dlm perjalanan turun dr puncak Mt McKinley (yg kali ini mau ditaklukkannya LAGI, seorang diri, di musim dingin pula, dg suhu rata-rata - 460C), dan sedang berusaha untuk mencapai basecamp dlm 2 hari.

Keesokan harinya pilot lain sempat melihatnya bergerak di ketinggian 5.100 mtr DPL – dan itulah terakhir kalinya Naomi terlihat (spotted) dalam keadaan hidup.

20 Febr cuaca sedikit membaik, dan dua orang pendaki berpengalaman diterjunkan pd ketinggian 4.300 mtr  DPL utk mengawali pencarian. Mereka tinggal di “atas” selama seminggu, dan menemukan gua yg sempat disinggahi Naomi. Mereka menemukan agenda (diary) Naomi di gua itu, dan mendapati bahwa Naomi sempat meninggalkan sebagian bawaannya utk mengurangi beban dlm upaya pendakian ke puncak.

Tim rescuers lain yg menyusul kemudian menemukan barang-barang Naomi lainnya di ketinggian 5.200 mtr, tetapi tetap tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan sang pendaki …

Sepotong bambu yg selalu diselipkan tegak di pundaknya (supaya bisa terlihat dr jauh, dan juga sebagai penanda kalau dia sampai jatuh kedalam lubang) di temukan di ketinggian 2.900 mtr, membuat orang berkesimpulan bhw bambu tsb sengaja ditinggalkan Naomi yg merasa sudah mencapai ketinggian yg “aman”, di mana kecil kemungkinan dia sampai terperosok ke rekahan es (crevasses) yg banyak ditemui di ketinggian yg lebih atas.

Betapapun, jasad Naomi tidak pernah diketemukan lagi ….

RIP (requiescat in pace, rest in peace), OM …. sbg sesama amatir I’m very proud of you, sama bangganya (mongkok, bhs Jawa) kalo’ denger nama OM Onno, OM Yono, atau yg satu generasi sebelumnya Taufik Akbar yg bersama Pratiwi –mikro  biologist UI adalah calon-calon astronot INA yg sdh sempat di”asrama”kan di Mabes NASA, tp gagal utk sampe meng-orbit krn pada last minutes ada perubahan policy terkait situasi politik dlm negeri yg “tidak kondusip” pd waktu itu, ato barangkali suatu hari (in the very near future, I hope) nama YL Endah Triastuti disebut-sebut di percaturan “orang pinter” tingkat global (yg membuktikan bhw tulisan Hill: "Indonesia does not have a "technology policy" TIDAK 100% benar adanya (seperti yang dilakukan oleh Prof Yohannes Suryo dan secara institutional oleh sejumlah sekolah yg berakreditasi “International standard”, yg telah menghasilkan sejumlah siswa SLTP/SLTA yg bisa berprestasi dan meraih berbagai Awards bergengsi di berbagai kompetisi Internasional yg diselenggarakan di manca negara)

Amiiiiiin …. 


        • ) syahdan, menurut kisah “yang empunya cerita”, kata Australia berasal dr kata ”ose tra lia” (harafiah: kamu tidak melihat), ungkapan kesal seorang pelaut Banda (hence sekarang ada yg namanya SAIL BANDA: lomba perahu layar int’l melayari perairan antara Darwin (di Northern Territory Australia) ke Kep. Banda di Maluku) yg berabad silam berdiri di tiang layar dan teriak-teriak ke rekannya di bawah, meneriakkan bahwa dia sayup-sayup melihat daratan di depan sono. Menjawab pertanyaan yg diteriakkan dr bawah: “Ahoiiiii, daratan apaaaaa ???”, dorang dg kesal menjawab: “Aiiii, ose tra lia ……!!!”

Dan, sejak itu …. orang menamai “daratan yg jauh di laut Selatan” yg baru ditemukan tsb sbg Ose-tra-lia, yg (kata “yg empunya certa” lagi) oleh para bulé di salah kupingkan jadi Australia (percaya aja deh …. !!!)

 

EOM

(di dunia radio, berarti “end of message”)


73 es 88

[bam]

PS: Lho kok, jadi ketularan “curhat” gini, hehehehe …



Pranala Menarik