Surat Untuk Bu Warsih

From OnnoWiki
Jump to navigation Jump to search

[http:://www.krpdiy.org Komite Rekonstruksi Pendidikan] (KRP) di Yogyakarta tampaknya cukup revolusional. Pak Sis salah satu anggota komite yang revolusioner tersebut menulis sebuah surat yang sangat menyentuh isinya. Di sambil dari: http://krp5.krpdiy.org/surat%20untuk%20bu%20warsih.htm


Bu Warsih Ysh,

Diknas sudah punya blue print IT JARDIKNAS, dengan empat zona itu. Namun ini adalah blue print untuk infra structure Bu. Sementara itu, di tingkat pusat masih belum jelas mengenai masalah konten pendidikan IT untuk Dikdasmen.


Di sisi yang lain, masalah konten berkaitan dengan isu strategis mengenai Open Source dan Non Open Source. Ke dua pertentangan ini bertumpu pada pemahaman yang sangat mendasar mengenai penggunaan teknologi yang tidak bisa lepas dari ideologi yang sudah ratusan tahun menjadi perdebatan, yaitu sosialis dan kapitalis.

Open Source yang ditengarai pada awalnya oleh Operating System Linux yang berbasis share ware dan kemudian berkembang menjadi banyak aplikasi yang berkembang dengan cara sejalan. Sedang Non Open Source yang diwakili oleh Microsoft dan bukan share ware dimana hanya Microsoft yang bisa mengembangkan. Sekarang ini sudah ribuan Open Source di berbagai bidang implementasi yang dikembangkan oleh individu dari berbagai bangsa dan bisa diperoleh dengan cara download dari internet, seakan berpacu dengan perkembangan Non Open Source yang harus membayar untuk lisensi.

Konten pendidikan IT paling mendasar di Dikdasmen adalah Operating System dan program aplikasi. Sebagai perbandingan,


Open Source Non Open Source
1 Operating System Linux Windows
2 Aplikasi Open Office MS Office
3 Browser Firefox Internet Explorer
4 Email Thunderbird Outlook Express
5 Dll Dll Dll


Selama ini, tanpa disadari bahwa sekolah-sekolah, kantor-kantor telah menggunakan Non Open Source illegal. Artinya tidak menggunakan produk bajakan. Ini masalah ketidaktahuan dan melekat dalam sejarah perkembangan penggunaan IT. Bagi sekolah, ini tentu menjadi isu yang tidak baik, karena sejak awal siswa telah dibiasakan untuk permisif terhadap penggunaan barang tidak halal. Dengan kata lain mengajari mereka untuk maling.

Pada saat yang sama, bangsa kita sedang disorot dunia sebagai negara pembajak software kelas berat berdasar penelitian Busniness Software Alliance. Bahkan Menkominfo harus terpaksa membantahnya.

Sebenarnya, Menristek sudah mencanangkan IGOS yaitu Indonesia Goes Open Source, Gubernur DIY juga senada ketika anggaran pembelian Non Open Source membebani Anggaran, lalu UGM sudah mencangkan sebagai Universitas yang berbasis Open Source; namun itu semua tidak menyentuh akar masalah yang paling mendasar kalau di dikdasmen tidak dibiasakan untuk menggunakan Open Source. Di samping itu, di Jogja banyak sekali komunitas Open Source yang pernah digalang oleh staf Ahli IT Gubernur. Tarik ulur dengan kepentingan Non Open Source pasti akan terjadi. Di sinilah tantangan untuk seorang Patriot bangsa.

Kalau kita menilik kondisi obyektif bangsa dan potensinya, penggunaan Open Source adalah sebuah investasi strategis. Membebaskan diri dari penjajahan seperti diamanatkan oleh Pembukaan UUD. Pendidikan IT Dikdasmen adalah satu-satunya harapan karena di sanalah harapan itu digantungkan.

Oleh karena itu, memeperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional, Diknas DIY sangat strategis untuk mencanangkan pendidikan IT berbasis Open Source. Komunitas guru IT di Indoensia dan para pakar IT Indonesia yang mendukung banyak sekali. Kurikulum sudah ada dan tinggal di-download.

Seandainya, sejak awal peserta didik Dikdasmen DIY sudah terbiasa dengan Open Source dan menjadi bagian dari paguyuban masyarakat Open Source dunia, niscaya akan muncul jago-jago yang akan ikut menyemerakkan perkembangan IT dunia karena Open Source memang memberi ruang untuk itu, dan itu berbeda dengan Non Open Source.

Bukankah ini sebuah mimpi yang indah Bu?


Siswanto,


Pranala Menarik