SBY dan Pudarnya Semangat Berbahasa Indonesia

From OnnoWiki
Jump to navigation Jump to search

Sumber: http://mustprast.wordpress.com/2012/09/20/sby-dan-pudarnya-semangat-berbahasa-indonesia/


Oleh Eko Prasetyo

penulis, tinggal di http://mustprast.wordpress.com

(artikel ini ditulis untuk Lomba Bahasa Indonesia dan Kita yang diadakan

Kompas)

Menjelang bulan bahasa yang jatuh pada Oktober nanti, banyak hal yang perlu direfleksikan kembali. Salah satunya adalah mewarisi semangat Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928. Di antaranya, ikrar bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Namun, bagaimana jika pemimpin yang diharapkan bisa menjadi contoh pengusung kebanggaan berbahasa Indonesia justru lebih ”suka” berbahasa asing (baca: Inggris)? Inilah yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dalam beberapa kesempatan pidato kenegaraan, SBY sering menyisipkan kosakata bahasa Inggris. Tidak hanya satu atau dua kata, tetapi bisa dikatakan melimpah alias puluhan kata. Hal ini menuai respons beragam di berbagai kalangan. Baik media maupun masyarakat. Ada yang menyebut hal tersebut tidak sesuai pada tempatnya, ada pula yang mengatakan itu masih relevan. Juga ada menanggapi biasa-biasa saja.

Meski bukan hal baru bahwa SBY kerap berpidato dengan memasukkan kata-kata bahasa Inggris yang melimpah, hal ini patut dicermati dan dikritisi. Masalahnya adalah banyak kosakata yang diucapkan kepala negara kita tersebut sudah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Sebagian pengamat menyebut hal itu kurang elok jika dilakukan pada saat berpidato di hadapan masyarakat Indonesia, bukan warga asing. Namun, inilah yang terjadi.

Yang paling gres, SBY melakukannya dalam sidang bersama anggota DPD dan DPR di kompleks parlemen pada 16 Agustus lalu. Dalam pidato menyambut HUT Ke-67 RI itu, SBY tercatat mengucapkan 30 istilah bahasa Inggris yang beberapa di antaranya diucapkan berulang-ulang. Istilah tersebut tidak termasuk beberapa istilah yang merupakan nama keputusan atau tempat yang aslinya memang menggunakan bahasa Inggris. Misalnya, six-point principles on the South China dan International Peace and Security Centre. (Kompas, 16/8/2012).

Istilah-istilah bahasa Inggris tersebut, antara lain, founding fathers, nation building, joint communiqué, code of conduct, part of the solution, what does Indonesia think?, financial inclusion, platform, growth with equity, dan emerging economy. Selain itu, ada istilah near poor, income generating, pro-growth, pro-job, pro-poor, pro-environment, ground breaking, middle income trap, rule of law, dan good governance. Masih ada lagi, yaitu clean government, open government, high cost economy, golden opportunity, necessary condition, prudent, fiscal space, big bang, dan quite revolution.

Di antara istilah-istilah tersebut, tidak sulit mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, pendiri bangsa (founding fathers), gagasan (platform), pembangunan negara (nation building), pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government), serta kesempatan emas (golden opportunity). Demikian pula halnya untuk istilah lain, padanannya dalam bahasa Indonesia sudah ada. Bahkan, SBY sudah menyebut padanan tersebut. Di antaranya, pranata hukum (rule of law), hampir miskin (near poor), ekonomi biaya tinggi (high cost economy), bagian dari solusi (part of the solution), syarat keharusan (necessary condition), ruang gerak anggaran (fiscal space), dan revolusi diam-diam (quite revolution).

Langgar UU Nomor 24/2009

Jauh sebelumnya, tepatnya pada Mei 2011, SBY menggunakan pidato dalam bahasa Inggris di Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Ke-16 Gerakan Non Blok (GNB) di Nusa Dua, Bali. Pengamat linguistik Zulprianto dari Universitas Andalas dalam tulisannya menyebut, SBY bisa dikatakan telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Pada pasal 28 disebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. Nah, Presiden SBY dinilai melanggar pasal itu karena memakai pidato bahasa Inggris. Namun, tidak ada sanksi yang dikenakan karena di dalam undang-undang tersebut tidak diatur pasal demikian.

Sikap Bung Karno

Dikenal sebagai orator ulung, bahkan bisa disebut orator kelas dunia, Bung Karno juga piawai dan fasih berbahasa asing seperti bahasa Belanda, Jepang, Prancis, dan Inggris. Kendati demikian, sebagai proklamator dan presiden pertama RI, Bung Karno selalu menyuarakan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Tidak lupa ia juga kerap mengelu-elukan semangat ke-Indonesia-an yang diusung dalam Sumpah Pemuda, 84 tahun silam.

Pada era 1960-an, Bung Karno bahkan menentang segala bentuk budaya kebarat-baratan. Ia menegur keras pejabat Indonesia yang berbahasa asing tidak pada tempatnya. Ia juga tidak mau musik-musik Barat memengaruhi budaya generasi muda bangsa. Musik yang dibawakan The Beatles yang tengah jaya pada masa itu disebutnya sebagai musik ngak-ngik-ngok. Ancamannya tidak main-main. Grup musik legendaris Koes Bersaudara (kelak menjadi Koes Plus dengan masuknya Murry) pernah dipenjarakan selama tiga bulan hanya karena membawakan lagu-lagu The Beatles pada 1965.

Dalam kegiatan budaya nusantara, Bung Karno tak lupa menaruh perhatian. Termasuk soal nama. Bung Karno memberikan nama yang lebih ”Indonesia” untuk artis tenar masa itu, Mintje Tambajong. Yakni, Rima Melati.

Bangga, Bangga, Bangga!

Sebelum pidato menyambut HUT Ke-67 RI pada 16 Agustus lalu, Juli lalu masyarakat Indonesia dibuat kecewa oleh tindakan SBY yang justru bercas-cis-cus dalam bahasa Inggris dengan Sri Mulyani, mantan menteri keuangan RI yang kini menjabat salah satu direktur di Bank Dunia. Padahal, pertemuan ini berlangsung di Indonesia.

Tidak hanya itu, SBY lagi-lagi membuat ”blunder” dengan mengucapkan istilah bahasa Inggris justru dalam acara peringatan Hari Anak Nasional pada akhir Agustus lalu. Istilah-istilah tersebut tentu saja terdengar sangat asing bagi telinga anak seperti mindset, culture shock, dan future shock. Tak heran, sebagian anak-anak tertidur saat mendengarkan sang presiden berpidato. Ini pun dipermasalahkan karena SBY merasa terganggu sehingga meminta anak yang tertidur itu dibangunkan.

Di tengah krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia, sudah semestinya pemimpin kita bisa menjadi panutan. Termasuk dalam hal berbahasa Indonesia. Jangan sampai semangat ke-Indonesia-an pudar karena dinilai kebarat-baratan lantaran sering mengucapkan istilah asing dalam pidato resmi, padahal padanannya sudah ada dalam bahasa Indonesia.

Nah, bertepatan dengan peringatan bulan bahasa Oktober nanti, SBY harus bisa memberikan contoh sebagai pemimpin yang bangga berbahasa Indonesia. Inilah momentum yang pas untuk membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.

Toh, harkat dan martabat kita tidak akan jatuh hanya karena berbahasa Indonesia. Apalagi, kini bahasa Indonesia sudah dicanangkan sebagai bahasa kedua di Vietnam. Selain itu, makin banyak penutur asing yang mempelajari bahasa Indonesia. Kalau bangsa lain saja menghargai bahasa Indonesia, sudah selayaknya kita melestarikan bahasa nasional dan persatuan ini. Mumpung belum diklaim negara lain!



Referensi