Mengenang Iskandar Alisjahbana oleh Edy Budiyarso
Di kutip dari http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/18/Opini/krn.20081218.151290.id.html [www.korantempo.com]
Opini
Mengenang Iskandar Alisjahbana
Edy Budiyarso, wartawan televisi RCTI, penulis buku Menentang Tirani Aksi Mahasiswa 77/78
Bandung belum beranjak siang di awal Januari 1978. Lelaki setengah baya berbadan tinggi, dengan langkah tergopoh-gopoh, masuk ke ruangan Panglima Kodam Siliwangi di Jalan Aceh di pusat Kota Bandung. Tamu tak diundang itu langsung berkacak pinggang di depan Panglima Siliwangi, "Waarom hebben jullie mijn huis beschoten?" (Mengapa kalian menembaki rumah saya?)
Mayor Jenderal Himawan Sutanto kaget mendapat berondongan pertanyaan seperti itu. Apalagi pagi itu belum ada laporan dari stafnya perihal penembakan di rumah dinas Rektor ITB. Jenderal Himawan pun menjawab dengan Holland spreken pula, "Kalau ada yang menembaki rumah, itu bukan cara saya dan pasti bukan kerjaan anak buah saya."
Lelaki tinggi itu tak lain adalah Prof Dr Iskandar Alisjahbana, Rektor ITB. Kala itu ia dan keluarganya nyaris terserempet pelor dari aksi penembak gelap yang memberondong rumah dinasnya. Tak puas mendapat jawaban itu, Prof Iskandar kembali bertanya, "Wie dan?" (Lalu siapa?) Jenderal Himawan tetap menggelengkan kepala.
Pertanyaan Prof Is--panggilan akrab Iskandar Alisjahbana--sampai kini belum terjawab tuntas, padahal sudah 30 tahun berlalu setelah peristiwa pendudukan kampus ITB oleh tentara pada 20 Januari 1978. Pemerintah pun
"menghadiahi" sikap gentleman Prof Is dengan mencopot jabatannya sebagai Rektor ITB pada 14 Februari 1978.
Alasannya, seperti disampaikan oleh Menteri Pendidikan Sjarief Thajeb, saat itu Prof Iskandar Alisjahbana dianggap
tak mampu memulihkan kampus ITB yang dalam kacamata pemerintah telah menjadi "sarang pemberontak".
Pemerintah menilai Prof Is terlalu membela Heri Akhmadi, Rizal Ramli, Al-Hilal Hamdi, Jusman Syafi'i Djamal,
Ramles Manapang, dan para pemimpin Dewan Mahasiswa (DM) Indonesia lainnya. Saat itu para pemimpin mahasiswa memang
mengkritik keras kebijakan pemerintah Orde Baru. Bahkan, dalam satu butir Ikrar Mahasiswa yang dibacakan di depan
8.000 mahasiswa di lapangan basket ITB, pimpinan DM se-Indonesia menuntut dilangsungkannya Sidang Istimewa MPR
meminta pertanggungjawaban Presiden Soeharto.
Alih-alih membubarkan aksi "nekat" para mahasiswa itu, Prof Is malah ikut berbaur di antara kerumunan demonstrasi
mahasiswa. Bahkan rektor yang mempunyai hobi fotografi ini malah sibuk dengan tustelnya, jeprat-jepret
mendokumentasikan aksi happening art para aktivis mahasiswa dalam acara yang disebut Gelora Kebangkitan 28 Oktober
1977.
Delapan tahun lalu, dalam diskusi peluncuran buku Menentang Tirani Aksi Mahasiswa 77-78 di Aula ITB Bandung, Prof
Is, yang membaca cerita soal penembakan di kediamannya, sempat menanyakan siapa sebenarnya pelaku yang menembaki
rumahnya. Kala itu penulis yang masih terikat "janji" pun tak memberitahukan perihal siapa penembak gelap itu.
Dalam buku Menentang Tirani, penulis menyebutkan bahwa pelaku penembakan rumah Rektor ITB adalah seorang perwira
pertama Angkatan Darat yang memiliki kedekatan dengan Jenderal Benny Moerdani, yang saat itu menjabat Asisten G-1
(Intel) Hankam. Selain menembak dengan senapan tua eks Perang Dunia II, sang kapten yang veteran pejuang ini
dengan gamblang membeberkan operasi pendudukan Ganesha.
Operasi pendudukan kampus ITB atas perintah Kepala Staf Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kaskopkamtib)
Laksamana Soedomo. Sebagai komandan pelaksana operasi adalah Benny Moerdani. Lantaran operasi intelijen, pelaksana
berada di bawah komando Satgas Kopkamtib dan pelaksana lapangan oleh Asisten 1 (Intelijen) Kodam Siliwangi,
Kolonel Samalo. Jalur inilah yang melampaui Himawan Sutanto, sebagai Pangdam. Pembeberan operasi ini dibuka dengan
sebuah janji nama sang kapten tetap dirahasiakan. Namun, janji ini bisa dilanggar dan nama sang kapten bisa dibuka
jika Benny Moerdani yang mantan atasannya sudah meninggal. Prof Is, lewat anak menantunya, Mas Bambang Harymurti,
dalam beberapa kali perjumpaan menanyakan kepada saya siapa penembak rumah Prof Is.
Waktu itu saya menjawab Benny Moerdani belum meninggal, sehingga saya belum bisa membuka identitas sang kapten
tersebut. Kini Prof Is telah berpulang dan Benny Moerdani pun sudah lama tiada. Lewat tulisan inilah penulis ingin
menyampaikan jawaban yang sudah 30 tahun tak terbalaskan. Sang Kapten memang bukan perwira karier lulusan akademi
militer. Dia, secara tak sengaja, penulis temui saat mewawancarai pelaku-pelaku sejarah Indonesia dalam rubrik
wawancara di majalah Tempo. Dalam kesaksiannya, sang kapten menyebut tembakan ke rumah Prof Iskandar hanya untuk
menakut-nakuti. Arah tembakan ke genting rumah sehingga tak berbahaya. Namun, tetap saja namanya tembakan senjata,
si pemilik rumah sudah tentu dibuat berang jadinya.
Selain kepada penulis, Sang Kapten mengaku sudah menceritakan aksi operasi "koboinya" kepada mantan Pangdam
Siliwangi Himawan Soetanto. Sebagai pengungkapan sejarah, seperti juga disampaikan oleh para pelaku, kini saatnya
jati diri Sang Kapten dibuka. Sang Kapten, yang masih kerabat pejuang Pembela Tanah Air Supriyadi, tak lain adalah
Ki Oetomo Darmadi. Walaupun agak terlambat, pengungkapan ini semoga menjawab pertanyaan Prof Iskandar Alisjahbana
(almarhum) yang lama tak terjawab. Selamat jalan, Prof Is, pendidik humanis yang keberaniannya banyak
menginspirasi para mahasiswanya dan juga Indonesia. *