Mengenang Iskandar Alisjahbana, Teringat Satelit Palapa
Mengenang Iskandar Alisjahbana, Teringat Satelit Palapa
Rabu, 17 Desember 2008 | 14:54 WIB
TEMPO Interaktif, BANDUNG:— Ketika Ibu Kota tengah menyiapkan Asian Games untuk pertamakalinya pada 1963, sejumlah dosen
Institut Teknologi Bandung tak kalah sibuk. Mereka bukan bagian panitia acara, tapi tengah berupaya agar acara olahraga
akbar negara-negara se-Asia itu bisa juga disaksikan warga Bandung. Caranya, mereka membuat stasiun relay televisi yang
belum ada di Bandung.
Gagasan membuat pemancar relay itu dilontarkan Iskandar Alisjahbana. “Beliau waktu itu masih dosen baru tapi energik,”
kata Profesor. Reka Rio yang saat itu masih menjadi asisten dosen di Departemen Elektronik ITB.
Reka Rio, masih mengingat jelas bagaimana dia harus membawa peralatan membangun pemancar yang lokasinya di puncak sisi
lereng barat Gunung Tangkuban Perahu itu. “Sopirnya waktu itu Arifin Panigoro,” katanya, Rabu (17/12).
Singkatnya, upaya Iskandar dan teman-temannya itu berhasil. Acara akbar itu mereka saksikan bersama Mashudi, Gubernur
Jawa Barat ketika itu. Warga Bandung yang punya televisi pun akhirnya bisa ikut menjadi saksi mata perhelatan tersebut.
Sukses menghadirkan Asian Games, Iskandar lalu mencetuskan pembuatan satelit domestik Palapa. “Pada 1974, beliau
mencetuskan SKSD Palapa di Aula Barat ITB ini,” kata Dekan Sekolah Tinggi Elektronik dan Informatika ITB Adang Suwandi.
Sistem Komunikasi Satelit Domestik itu diluncurkan 1976.
Kiprah Iskandar dalam bidang telekomunikasi negeri ini dimulai setelah lulus sebagai Sarjana Muda pada 1951 dari Fakultas
Teknik Universitas Indonesia yang kemudian menjadi ITB Departemen Elektronik. Studinya berlanjut ke Electrical
Engineering Department, TH Muenchen, Jerman dan jurusan yang sama di TH Damstadt, Jerman hingga meraih gelar Diploma
Engineering dan Doktor Engineering. Semua itu ditempuhnya selama kurun 1954-1960.
Di Jerman, Iskandar Alisjahbana sempat menjadi research engineer di Pintsch Electro Lab, Munich dan Central Lab of
Siemens & Halske, Munich. Putra sulung pujangga Sutan Takdir Alisjahbana itu kemudian menjadi dosen elektronik ITB sejak
1960 hingga pensiun 1996.
Selama di ITB, lelaki kelahiran Jakarta, 20 Oktober 1931 itu memegang sejumlah jabatan. Pada 1964-1966, dia menjadi Ketua
Laboratorium Komunikasi Radio Departemen Teknik Elektro ITB. Pada 1965-1967, menjadi Ketua Badan Riset Telekomunikasi
Indonesia.
Iskandar menyandang Ketua Jurusan Eletronik ITB sepanjang 1966-1968. Pada 1966, dia menjadi Guru Besar Teknik Elektro ITB
untuk bidang telekomunikasi.
Selain berkiprah pada hal keilmuan, Iskandar juga merintis PT Radio Frequency Communication dan menjadi Presiden Direktur
antara 1970-1974. Pada 1972, dia menjadi senior entrepreunership di East West Centre, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.
Selepas jabatan di perusahaannya habis, Iskandar diangkat menjadi Dekan Fakultas Teknologi ITB pada 1972-1974. Setelah
itu dia menjadi Wakil Ketua Lembaga Penerbangan Nasional selama 1974-1976. Saat itu, ia mencetuskan pembuatan satelit
Palapa dan mewakili Indonesia dalam UN Panel Meeting on Satelite di Tokyo, Jepang.
Iskandar pernah menjabat sebagai Rektor ITB pada 1976-1978. Mulai 1992 hingga akhir hayatnya, dia tercatat sebagai
pendiri dan Komisaris PT Pasifik Satelit Nusantara. Jabatan terakhirnya adalah Ketua Majelis Wali Amanat ITB 2001-2004.
Selain mencetuskan satelit, Iskandar juga berjasa menggagas tele blackboard, yaitu sebuah teknologi yang bisa merekam
tulisan tangan di atas papan elektronik. Surat itu bisa dikirim ke lokasi yang jauh melalui gelombang radio atau
televisi.
Sepanjang hidupnya, Iskandar Alisjahbana mendapat empat pernghargaan pentinng dari pemerintah. Yaitu tanda kehormatan
Satya Lencana Karya Satya 1998 dari Presiden RI, Bintang Mahaputra Utama 1999 dari Presiden RI, Penghargaan Sarwono
Prowirohardjo 207 sebagai pakar teknologi dari LIPI, dan anugerah Sewaka Winayaroha 2007 dari Dirjen DIKTI.
Profesor. Doktor. Ing. Iskandar Alisjahbana wafat Selasa malam, 16 Desember 2008, di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung
pada usia 77 tahun. Suami Prof. Anna Alisjahbana itu dimakamkan hari ini, Rabu, 17 Desember di samping makam ayahnya,
Sutan Takdir Alisjahbana di desa Tugu, Bogor. Selain seorang istri, Iskandar meninggalkan tiga orang anak dan 6 cucu.