Kenangan Kepala Perpustakaan Pusat ITB
Catatan: Onno W. Purbo
Tulisan singkat ini di tulis sebagai kenangan akan apa-apa yang pernah saya lalui sebagai kepala perpustakaan pusat di Institut Teknologi Bandung tahun 1999-2000.
Sebetulnya sebelum saya menjabat sebagai kepala perpustakaan pusat di ITB, saya sudah sering bermain ke perpustakaan pusat di ITB untuk berbagai kegiatan yang berkaitan dengan jaringan komputer & Internet. Hal ini menjadi sangat mudah dilakukan karena lokasi laboratorium saya di gedung Pusat Antar Universitas di ITB berseberangan dengan Perpustakaan Pusat di ITB.
Sebelum tahun 1999, pada saat kami aktif mengembangkan Internet di ITB beberapa kali kami mengadakan seminar tentang Internet di perpustakaan pusat ITB. Biasanya dalam seminar-seminar tersebut di demo-kan Internet dan aplikasinya untuk dunia pendidikan. Tentunya kita harus memasang kabel jaringan antara gedung Pusat Antara Universitas dengan Perpustakaan Pusat di ITB untuk keperluan seminar Internet tersebut. Tidak heran jika setelah acara seminar-seminar tersebut kabel tetap di tinggalkan untuk mengkaitkan perpustakaan pusat ITB ke Internet. Perlu di catat bahwa investasi instalasi dilakukan secara swadaya masyarakat tidak memperoleh dana dari ITB.
Itulah awal keterlibatan saya di perpustakaan pusat di ITB. Pada tahun 1999, pimpinan ITB menunjuk saya yang golongannya hanya IIIB untuk memimpin perpustakaan pusat di ITB. Sebuah jabatan di lingkungan perguruan tinggi yang setara dengan kedudukan Dekan Fakultas. Mungkin merupakan jabatan yang cukup bergengsi bagi sebagian orang.
Waktu itu Pembantu Rektor bidang Akademis di ITB di pegang oleh Prof. Widiadnyana Merati (Pak Widi). Pesan beliau kepada saya sederhana sekali. Beliau melihat bahwa misi yang di emban sangat jelas yaitu mengkaitkan perpustakaan pusat ITB ke Internet menjadi cyber library. Kira-kira demikian lah ideal-nya, kenyataannya tidaklah demikian glamor.
Mengapa tidak glamor? Kenyataan yang ada, dana untuk pengadaan koleksi perpustakan pusat ITB hanya sekitar Rp. 2.5 juta / tahun! Seperti kita tahu harga buku text kuliah berkisar Rp. 300-400.000,- / buku untuk cetakan Tata McGrawhill yang menggunakan kertas murah. Sedang buku text dari Amerika Serikat biasanya mendekati Rp. 1 juta / buku. Belum lagi cukup banyak karyawan perpustakaan pusat di ITB yang golongannya relatif rendah, bahkan sebagian karyawan honorer dengan gaji bulanan sekitar Rp. 150.000,- padahal rekan-rekan pegawai perpustakaan pusat harus kerja dari pagi jam 8 s/d jam 10 malam.
Memang ada beberapa kekuatan yang ada di perpustakaan pusat ITB. Kami mempunyai koleksi buku mencapai tidak kurang dari 200.000 buah. Ada lantai khusus hibah koleksi dari British Council. Ada beberapa komputer walaupun relatif tua, tapi masih dapat di manfaatkan.
Satu hal yang sangat melegakan sebagian besar staff dan karyawan perpustakaan pusat ITB sangat berdedikasi untuk bekerja. Sebagian besar juga sangat ingin untuk maju dan berkembang. Di samping itu, cukup banyak mahasiswa ITB yang berminat untuk bergabung dan membantu mengembangkan perpustakaan pusat di ITB.
Memang gaji saya pada saat itu sebagai golongan IIIB sekitar Rp. 400-500.000,- / bulan. Terus terang, kecil sekali di bandingkan dengan penghasilan saya hari ini sebagai pensiunan pegawai negeri sipil.
Beberapa motor utama perpustakaan pusat ITB antara lain adalah Bu Nanan Hasanah (Bu Nanan), Bu Studiati Suwandi (Bu Atik), Bu Martinia Danubrata (Bu Tina), Pak Mahmudin di bantu oleh banyak staff yang berdedikasi, seperti, Bu Mulyati (bu Yati), Pak Djoni, Pak Ena Sukmana dll..
Kunci permasalahan yang paling utama di perpustakaan pusat ITB sebetulnya tidak berbeda jauh dengan masalah yang banyak di instansi pemerintahan lainnya, yaitu masalah kesejahteraan pegawai. Kasarnya keberhasilan perpustakaan pusat ITB untuk mengemban misi-nya hanya mungkin jika dibarengi dengan keberhasilan kita dalam meningkatkan penghasilan pegawai, dengan cara yang halal dan bertanggung jawab tentunya.
Pergerakan karyawan hanya di mungkinkan jika kita memperoleh kepercayaan / trust dari karyawan. Kunci dari kepercayaan / trust sebetulnya juga sederhana sekali, yaitu, kejujuran dan transparansi. Mudah di katakan, tapi akan sulit di implementasikan jika kita tidak mempunyai niatan yang baik. Pertanyaannya, bagaimanakah caranya agar kita dapat melakukan hal ini secara sederhana? Tanpa memakan biaya banyak? Tanpa menambah birokrasi tambahan?
Salah satu hal yang paling drastis untuk mengatasi itu semua adalah mengubah budaya yang ada di perpustakaan pusat ITB yang awalnya mengandalkan rapat mingguan untuk melakukan koordinasi operasional perpustakaan pusat ITB. Saya ingat betul, bahwa selama saya hanya sempat melakukan tiga (3) kali rapat mingguan tersebut selama saya memimpin perpustakaan pusat di ITB. Di pertemuan / rapat yang ke tiga (3) saya mengusulkan sebuah perubahan drastis, yaitu, semua rapat dilakukan secara terbuka di Internet menggunakan e-mail & mailing list agar semua karyawan di perpustakaan pusat di ITB dapat berpartisipasi dalam semua proses pengambilkan keputusan secara transparan.
Selain proses transparansi pengambilan keputusan, keuangan adalah hal yang sangat peka di lingkungan pegawai yang pengasilannya tidak seberapa. Oleh karena itu salah satu kunci untuk memperoleh kepercayaan dari semua orang adalah laporan keuangan yang dapat di audit oleh semua orang. Walaupun sebetulnya tidak seberapa, karena pemasukan awalnya hanya dari fotocopy dan denda. Tapi keterbukaan ini yang menyebabkan kepercayaan dapat diperoleh.
Melihat kondisi SDM di Perpustakan Pusat ITB yang sebetulnya secara teknologi sangat minim skill-nya tetapi mempunyai beberapa komputer yang dapat digunakan, maka saya mulai mengajak para mahasiswa untuk bekerja di perpustakaan pusat dan mulai mengembangkan / mengimplementasikan digital library.
Terus terang, saya & perpustakaan pusat ITB tidak mempunyai uang banyak. Apalagi tidak ada uang proyek untuk pengembangan digital library.
Saya cukup beruntung ada mahasiswa militan seperti Ismail Fahmi dan teman-temannya. Mereka rela bermalam di perpustakaan, menginap dan mengembangkan digital library untuk perpustakaan pusat di ITB. Padahal modal yang ada sebetulnya relatif amat sangat terbatas hanya beberapa buah komputer pentium II yang terhubung ke jaringan Internet di ITB. Keterlibatan mereka selama beberapa bulan di perpustakaan ITB memungkinkan mereka untuk menghayati proses kerja sebuah perpustakaan. Tidak heran akhirnya mereka berhasil mengembangkan software digital library.
Pekerjaan iseng-iseng Ismail Fahmi cs ini akhirnya menelurkan Knowledge Management Research Group (KMRG) adalah kelompok penelitian yang di kembangkan untuk melakukan penelitian tentang manajemen pengetahuan. Gerombolan KMRG ini cukup virtual dan dapat berinteraksi melalui server & mailing list sendiri di kmrg@kmrg.itb.ac.id.
Dana penelitian pun mereka peroleh dari International Development Research Center (IDRC) Canada, dari Yayasan Litbang Telekomunikasi Indonesia (YLTI). KMRG terus berkembang hingga hari ini. Pada saat tulisan ini dibuat, Ismail Fahmi masih berada di Belanda untuk mencoba meneruskan ke jenjang pendidikan S3.
Demikian sekilas catatan kecil yang ada.