Alternatif Strategi Industri IT Indonesia

From OnnoWiki
Jump to navigation Jump to search

Catatan: Onno W. Purbo Maret 2004

Saran bagi para pembaca, sebaiknya anda jangan menganggap terlalu serius tulisan ini, karena Onno W. Purbo hanya rakyat Indonesia biasa-biasa saja, bukan pejabat negara.

Alternatif strategi yang di usulkan di sini sebetulnya dapat di jalankan tanpa dukungan dana sama sekali dari pemerintah, alias membebani Rp. 0,- APBN. Semua dapat dilakukan secara swadaya masyarakat di Indonesia, tanpa utangan Bank Dunia, ataupun IMF. Konsekuensi dari alternative strategi yang saya bahas disini akan memungkinkan 45+ juta siswa (anak muda Indonesia) berada di Internet dan bukan mustahil mengimbas 80-100 juta orang dewasa lainnya untuk ber-Internet ria. Bukan mustahil Indonesia akan menjadi negara yang tangguh di kawasan asia tenggara mengalahkan Malaysia, Singapore & Australia.

Sialnya semua ini harus tertahan karena kepicikan para birokrat di pemerintahan (yang mungkin di pengaruhi konsultan yang salah) maupun aparatnya yang sering kali main kayu di lapangan, melakukan sweeping dll. Akhirnya semua ini meredam kemungkinan bangsa Indonesia menjadi banga yang besar. Sayang memang .. tapi itulah kenyataan hidup di negara Indonesia.

Baiklah, mari kita hitung secara sederhana melihat kenyataan yang ada. Pada saat ini ada 200.000+ sekolah diseluruh Indonesia, termasuk pesantren, madrasah, sekolah dasar, SMP, SMU, SMK. Sekolah ini mempunyai massa sekitar 45+ juta siswa (mendekati 50 juta siswa sebetulnya). Kondisi hari ini, hanya 3000+ sekolah ini yang tersambung ke Internet dengan massa siswa mendekati 1 juta orang yang tersambung ke Internet. Terutama karena usaha yang gigih dari Dr. Gatot HP yang waktu itu menjabat sebagai direktur menengah kejuruan di DIKNAS yang berusaha keras mengkaitkan sekolah-sekolah terutama SMK ke Internet.

Jika kita mau secara politik mengkaitkan semua 200.000+ sekolah ini ke Internet, maka secara swadaya masyarakat sebetulnya secara automatis kita akan melihat 45+ juta bangsa ini berada di Internet. Proses penyambungan sekolah ke Internet sebetulnya mudah, karena:

  1. Siswa dapat mendanai sendiri proses penyambungan sekolah ke Internet, yang biayanya Rp. 1000-5000 / siswa / bulan.
  2. Dengan Rp. 1000-5000 / siswa / bulan, minimal sebuah sekolah dapat dengan mudah mengumpulkan Rp. 1-5 juta / bulan / sekolah dari siswanya dan cukup untuk mengcover biaya sambungan Internet (bisa dial-up) dan investasi komputernya sendiri. Arti angka ini bagi dunia industri IT & ISP sebetulnya, kita melihat dana sebesar Rp. 2-10 milyard / bulan berputar di dunia pendidikan untuk keperluan IT.
  3. Guru teknik / orang teknik akan menjadi masalah paling besar dalam pengoperasian system internet sekolah tsb. Hal ini akan dapat dengan mudah di penuhi melalui berbagai side roadshow, distribusi CD, majalah, talkshow, workshop, seminar ke berbagai pelosok Indonesia berdampingan dengan acara yang sifatnya komersial supaya terjadi subsidi silang.
  4. Materi pembelajaran di sekolah tentang IT tidak perlu terlalu canggih, minimal sekali dapat menulis menggunakan editor, dan berkirim e-mail / berdiskusi melalui mailinglist yang akan sangat bermanfaat bagi proses belajar-mengajar.
  5. Bagian terberat dari seluruh proses adalah meyakinkan / memaksa kepala sekolah & yayasan agar menyelenggarakan IT & Internet bagi sekolahnya. Hal ini hanya mungkin dilakukan jika ada surat / SK resmi dari tingkat menteri. Hal ini adalah bagian yang paling berat dari seluruh proses, hal ini merupakan bagian yang sifatnya sangat politis dan berat di tembus.

Dengan tersambungnya sekolah ke Internet, secara tidak langsung akan mempengaruhi orang tua siswa dan masyarakat sekitarnya. Siswa akan bercerita ke orang tua maupun masyarakat sekeliling mereka tentang Internet maupun teknologi informasi.

Harus di akui bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya yang berada di daerah masih lebih suka media pandang-dengar daripada baca-tulis karena tingkat pendidikan mereka.

Oleh karena itu, untuk mengeffektifkan proses distribusi pengetahuan, ada baiknya kita juga menggunakan media suara sebagai media distribusi pengetahuan. Media suara yang paling murah yang dapat di deploy untuk keperluan tersebut di tingkat daerah / rural. Media suara tersebut adalah pemancar FM atau AM kekuatan rendah 5-10 Watt yang dapat dibuat sendiri, dan di pasang di komunitas / sekolah sebagai media sharing pengetahuan antar komunitas. Biaya / investasi sebuah pemancar AM / pemancar FM kekuatan rendah ini relatif rendah & tidak sampai Rp. 1 juta dan dapat di cover oleh komunitas itu sendiri.

Keberadaan pemancar FM / pemancar AM ini akan sangat terbantu jika di bangun jaringan antar pemancar tersebut. Supaya rekaman-rekaman acara & sharing pengetahuan yang terjadi bisa di share antar operator pemancar, antar komunitas.

Usaha untuk membangun pemancar broadcast komunitas ini mulai berkembang di Indonesia, walaupun dalam orde ribuan saja. Kita masih perlu lebih banyak lagi pemancar komunitas agar masing-masing komunitas menjadi lebih hidup.

Keberadaan radio komunitas & Internet bagi dunia pendidikan tidak akan dapat berjalan dengan lancar jika kita tidak memberdayakan RT/RW-net dan membebaskan Internet broadband wireless menggunakan frekuensi 2.4GHz & 5.8GHz.

Sayang regulator di Indonesia tidak berfikir panjang, terus terang, di World Summit on Information Society (WSIS) Geneve Geneve 9-12 Desember 2003, banyak rekan-rekan negara lain terkagum, terinspirasi pengalaman Indonesia yang real di lapangan, bertumpu swadana & swadaya masyarakat, praktis hampir tidak di danai oleh pemerintah sama sekali. Alhamdullillah, tidak menambah utangan negara ke World Bank dan IMF. Bahkan masyarakat melakukan investasi sendiri infrastruktur informasinya, yang mereka juluki "RebelNet" the Indonesian community based infrastructure.

Teknologi Wireless Internet di 2.4GHz & 5GHz menjadi tulang pungggung utama-nya. Teknologi ini demikian mudah dan murah untuk di operasikan menyebabkan kemungkinan penetrasi Internet menjadi sangat mudah. Semua investasi dari rakyat, tanpa campur tangan investor asing; tanpa menaikan tarif Telkom.

Pada World Summit on Information Society (WSIS), Indonesia telah berhasil menunjukan dirinya sebagai salah satu pemimpin dunia pembangunan ICT berbasis masyarakat, yang mampu membangun masyarakat informasi-nya menjadi jutaan orang di tahun 2003 dari nihil di tahun 1993. Indonesia adalah satu-satunya negara, tidak ada negara lain di dunia, yang mampu membangun system dalam sekala besar secara swadana & swadaya masyarakat. Tidak heran jika banyak peserta WSIS mengatakan "Indonesia is inspirational!!"

Sayang POSTEL tak terlalu pandai untuk dapat melihat bahwa justru pembebasan pita ISM 2.4GHz dan 5GHz dari berbagai ijin, lisensi maupun kewajiban pembayaran BHP akan menyebabkan (1) lonjakan pengguna Internet ISM band dari satu (1) juta menjadi 17.8 juta pengguna, (2) kenaikan BHP Jasa Internet dari Rp. 1 Milyard/tahun menjadi Rp. 21 Milyard/Tahun, (3) kenaikan PPh Jasa dari Rp. 7 Milyard/tahun menjadi Rp. 128 Milyard/tahun, (4) masukan PPN dari Investasi peralatan dari Rp. 18 Milyard menjadi Rp. 600 Milyard, (5) lonjakan tambahan kebutuhan komputer dari 50.000 unit menjadi mendekati 2 juta unit, (6) lonjakan tambahan kebutuhan peralatan ISM band dari 5.500 unit menjadi mendekati 130.000 unit dan (7) justifikasi migrasi industri antenna & tower menjadi manufaktur peralatan ISM band senilai US$4.5 juta dengan nilai komponen US$650.000 saja. Belum terhitung berbagai efek spin-off di perekonomian Indonesia.

Pengorbanan pemerintah hanya memigrasi existing 2900 microwave link senilai Rp. 626 Milyard yang tercover masukan PPN investasi peralatan yang mendekati Rp. 600 Milyard dan PPh Jasa & BHP Jasa Telekomunikasi. Semua detail perhitungan ada di file impact-ism-unii.xls di bagian file mailing list mastel-anggota, telematika, genetika, indowli di yahoogroups.com. Atau silahkan meminta copy file kepada saya di onno@indo.net.id.

Saya pribadi (dan saya yakin banyak rekan komunitas) tetap berpendapat bahwa (1) band ISM & UNII (2.4 GHz, 5.2GHz dan 5.8GHz) harus dibebaskan, (2) pengguna ISM & UNII band tidak perlu lisensi maupun registrasi, (3) mengacu pada Mutual Recognition Agreement (MRA) semua peralatan yang digunakan tidak perlu di approve oleh POSTEL / Pemerintah, jika sudah di approve oleh FCC & ESTI regulator di negara maju, (4) pengguna di batasi daya pancar pada EIRP 30-36 dBm untuk minimalisasi interferensi dengan ancaman pasal 38 Undang Undang 36 Tahun 1999 dan (5) koordinasi penggunaan frekuensi bersama (frequency sharing & reuse) maupun disain Wireless Metropolitan Area Network (MAN) dilakukan secara lokal oleh komunitas.

Sayang semua hal yang membanggakan di WSIS harus dilakukan dibawah tindakan represif pemerintah, kejaran aparat, sweeping, penyitaan peralatan, berbagai tuduhan pencurian pulsa oleh Telkom. Barangkali memang nasib kita mempunyai regulator telekomunikasi yang tidak cerdas??

Teman-teman seperjuangan mari lanjutkan terus berjihad & berjuang tegakan keadilan, hancurkan kemaksiatan & kebathilan. Mari kita bangun wireless Internet di semua pelosok, di setiap sekolah, di setiap RT/RW, di setiap rumah. Bukan mustahil bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar di tingkat regional Asia Tenggara.


Semoga Allah SWT bersama kita. Amien.

Pranala Menarik