2013/07/08 - Vonis Mati untuk Industri Internet Indonesia
Sumber: http://www.gatra.com/fokus-berita/35052-vonis-mati-buat-industri-internet-nasional.html
Jakarta, GATRAnews - Pengadilan tipikor memutuskan terdakwa Indar Atmanto bersalah. Perjanjian kerja sama Indosat dengan IM2 dinilai melawan hukum, padahal pihak regulator menyebut telah sesuai dengan aturan dan perundang-undangan. Ratusan penyelenggara jasa telekomunikasi diprediksi bakal bangkrut dan terancam dipidanakan. Kiamat industri internet di Indonesia sudah dekat?
Sekelompok orang mencuri perhatian di dalam ruang sidang lantai I Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin pekan lalu.
Mereka kompak mengenakan kaus berkerah biru bertulisan "Stop Kriminalisasi Industri Telekomunikasi", juga "Justice for Indar Atmanto".
Tapi dukungan yang diberikan anggota Serikat Pekerja Indosat itu tinggal dukungan. Siang itu, hakim menjatuhkan vonis bersalah kepada orang yang mereka dukung.
Indar Atmanto, Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) periode 2006-2011, oleh majelis hakim tipikor yang diketuai Antonius Widiantoro, dijatuhi vonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan.
Indar dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Selain Indar, hakim juga menghukum IM2 membayar denda Rp 1,358 trilyun, dengan waktu pembayaran satu tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Lewat satu pekan setelah vonis dijatuhkan, Indar menerima GATRA di ruang kerjanya di lantai III Gedung Indosat, Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 21, Jakarta Pusat. Senyum tersungging di bibir pria yang kini menjabat sebagai Chief Corporate Services Officer Indosat itu. Senyum yang mengingatkan kita pada figur animasi pada iklan program "Senyum Indosat".
"Saya optimistis bisa melewati masalah ini, dan saya sudah ajukan banding," kata pria kelahiran Jakarta, 16 November 1962, itu. Optimisme Indar merujuk pada dukungan positif yang diperolehnya, tidak saja dari Serikat Pekerja dan jajaran direksi Indosat, melainkan juga dari elemen pelaku industri telekomunikasi dan regulator.
Menurut dia, perjanjian kerja sama (PKS) antara PT Indosat Tbk dan PT IM2, yang menjadi pangkal kasus ini, sudah sesuai dengan aturan. "Pola kerja sama ini sudah lazim dan diketahui Kementerian Kominfo, juga sesuai dengan aturan dan undang-undang," ujar Indar, yang sejak 19 Desember 2012 mengantongi status sebagai tahanan kota.
Kasus ini berawal dari pengaduan Ketua Konsumen Telekomunikasi Indonesia (KTI), Denny Andrian Kusdayat, ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada 6 Oktober 2011.
Denny, yang kini meringkuk di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta, karena kasus pemerasan terhadap PT Indosat, melaporkan dugaan penyalahgunaan pita frekuensi 2.1 GHz generasi ketiga (3G) oleh IM2. Dalam laporannya, KTI melansir dugaan kerugian negara Rp 3,8 trilyun.
Pangkal kasus ini adalah penandatanganan perjanjian kerja sama antara PT Indosat Tbk dan anak perusahaannya, PT IM2, dalam penyelenggaraan akses internet broadband melalui jaringan bergerak seluler IMT 2000 pada pita frekuensi 2.1 GHz.
Status Indosat dalam kerja sama yang ditandatangani pucuk pimpinan masing-masing perusahaan ini adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi. Sedangkan status IM2 adalah internet service provider (ISP) atau penyelenggara jasa internet.
Kewajiban Indosat berdasarkan kerja sama itu, antara lain, menyediakan jaringan bagi pelanggan. Sedangkan kewajiban IM2 adalah menyediakan sistem koneksi yang menghubungkan jaringan Indosat ke pelanggan internet IM2.
Atas kewajiban itu, Indosat berhak memperoleh pendapatan dari layanan penyediaan jaringan yang dimilikinya, sedangkan IM2 berhak menetapkan tarif layanan dan mendapatkan bagian dari pendapatan atas layanan akses internet yang dijualnya.
Kerja sama tersebut lantas dipersoalkan karena Indosat dinilai KTI telah mengalihkan jaringan 3G mereka kepada IM2. Denny menyebut praktek bisnis yang dilakukan PT IM2 itu bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, juga melanggar Pasal 58 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan melabrak Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Nomor 7/PER/M./KOMINFO/2/2006.
Aspek penyalahgunaan dalam pengaduan Denny itu meliputi sekurangnya tiga modus. Pertama, IM2 menjual internet broadband yang menggunakan jaringan 3G milik PT Indosat, yang diakui sebagai produk PT IM2.
Kedua, PT IM2 memiliki access point name (APN) sendiri, yaitu Indosat.net.
Dan ketiga, IM2 disebutkan memiliki data pelanggan pengguna jaringan 3G sendiri, terpisah dari data pelanggan Indosat.
Kemudian penyelidikan atas kasus itu diambil alih Kejaksan Agung (Kejagung) karena dianggap locus delicti-nya tidak hanya di Jawa Barat. Kejagung lalu menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor PRINT-04/F.2/Fd.1/01/2012, tertanggal 18 Januari 2012.
Kejagung menetapkan Indar Atmanto sebagai tersangka dalam kasus ini pada 18 Januari 2012. Menyusul kemudian penetapan tersangka lainnya, mantan Direktur Utama Indosat, Johnny Swandy Sjam, pada November 2012, sedangkan Indosat dan IM2 ditetapkan sebagai tersangka korporasi pada Januari 2013.
Sebelum sidang kasus ini dimulai di pengadilan tipikor, regulator dan sejumlah pelaku industri informasi telekomunikasi telah menunjukkan sikap berseberangan dengan jaksa.
Menkominfo, Tifatul Sembiring, dalam banyak kesempatan menyatakan bahwa tidak ada praktek pengalihan frekuensi dalam kerja sama Indosat dengan IM2.
Aturan tentang frekuensi, menurut Tifatul, merujuk pada UU Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi dan produk hukum turunannya (PP Nomor 52 dan 53 Tahun 2000). Pasal 2 PP 52/2000 menjelaskan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi meliputi penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi, dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
Praktek bisnis dalam kerja sama itu menempatkan IM2 selaku penyelenggara jasa menyewa kapasitas jaringan 3G yang dimiliki Indosat. Tifatul menjamin, praktek itu sah secara hukum.
Tifatul mengibaratkan Indosat sebuah kapal barang besar yang mendapat izin berlayar dan izin trayek pelayaran. Lalu IM2 bekerja sama dengan Indosat untuk menyewa kapasitas blok ruang-ruang tempat barang di kapal milik Indosat itu.
Jadi, IM2 tidak punya kapal, tidak punya izin pelayaran, dan tidak mengoperasikan kapal, tapi hanya menyewa kapasitas. Indosat-lah yang punya izin mengoperasikan kapal dan trayeknya.
Praktek bisnis semacam itu tidak hanya dilakukan IM2. Tifatul menyebutkan, sekurangnya ada 150 ISP lain yang bermain di bisnis data yang lebih-kurang serupa modusnya.
Namun sikap resmi Kemenkominfo itu tidak menyurutkan langkah jaksa untuk melimpahkan berkas kasus ini ke pengadilan. Pada 14 Januari 2013, untuk pertama kalinya kasus ini disidangkan di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, dengan Indar Atmanto sebagai terdakwa.
Dan pada 30 Mei 2013, jaksa penuntut umum membacakan tuntutan terhadap Indar, yaitu pidana penjara 10 tahun dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Dalam materi tuntutannya, juga sebagaimana tercantum dalam dokumen surat dakwaan, jaksa penuntut umum, antara lain, menyoal perjanjian kerja sama antara PT IM2 dan PT Indosat untuk menyelenggarakan akses internet broadband sebagai perbuatan melawan hukum.
Jaksa menilai IM2 telah menggunakan frekuensi 2.1 GHz milik Indosat dengan selubung kerja sama penggunaan jaringan untuk akses internet broadband.
Padahal, pita frekuensi 2.1 GHz tidak dapat dialihkan kepada pihak lain dan atau tidak dapat dipergunakan secara bersama tanpa izin menteri, sebagaimana tercantum dalam Pasal 17 PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum, Frekuensi, dan Satelit.
Implikasinya, IM2 dituding menghindari kewajiban membayar up front fee (biaya penggunaan pita spektrum frekuensi radio per blok; dibayar di muka untuk masa berlaku 10 tahun) dan biaya hak penggunaan (BHP) pita frekuensi radio kepada negara, sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 jo Pasal 6 Peraturan Menkominfo Nomor 7/2006.
Dengan merujuk pada hasil perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), jaksa melansir kerugian negara akibat praktek kerja sama itu sekitar Rp 1,358 trilyun.
Belakangan, tepatnya pada 1 Mei 2013, putusan PTUN menetapkan hasil audit BPKP tersebut cacat hukum dan tidak dapat digunakan.
Dalam nota pembelaannya, tim kuasa hukum Indar Atmanto menuding jaksa tidak cermat membaca uraian Peraturan Menkominfo 7/2006 itu.
Padahal, dalam peraturan itu disebutkan bahwa lelang pita frekuensi 2.1 GHz adalah lelang yang hanya dapat diikuti pelaku usaha yang memiliki izin sebagai penyelenggara jaringan. Dalam konteks ini, Indosat yang berperan sebagai penyelenggara jaringanlah yang punya kewajiban membayar.
"Penyelenggara jasa seperti PT IM2 tidak perlu membayar (up front fee dan BHP pita frekuensi radio) dan tidak berkualifikasi mengikuti lelang, karena PT IM2 hanya sebagai ISP (penyelenggara jasa telekomunikasi)," demikian bunyi petikan pledoi tim kuasa hukum Indar Atmanto yang dipimpin Luhut M.P. Pangaribuan.
Lebih jauh, kepada GATRA, Luhut menyebutkan bahwa dalam menyusun tuntutan, jaksa menampik fakta-fakta persidangan dan hanya memakai berita acara pemeriksaan sebagai dasar tuntutan.
Padahal, ungkap Luhut, belasan saksi yang diperiksa di hadapan hakim hampir seluruhnya melemahkan dakwaan pasal korupsi.
"Ini pertama dalam sejarah hukum negeri ini, jaksa mengajukan fakta di luar fakta pemeriksaan persidangan, dan majelis hakim tetap memutus bersalah, tanpa pertimbangan fakta persidangan," kata Luhut.
Lebih jauh Luhut mengatakan bahwa dakwaan pokok mengenai ada atau tidaknya penggunaan bersama pita frekuensi, yang kemudian dalam materi tuntutan berubah menjadi "hanya" penggunaan frekuensi, telah secara jelas tidak terbukti berdasarkan keterangan saksi-saksi ahli.
"Baik yang diajukan jaksa maupun yang diajukan terdakwa," ujar Luhut sembari menegaskan bahwa pihaknya telah mendaftarkan proses banding atas putusan hakim tipikor itu pada 11 Juli lalu.
Keputusan banding itu didukung Tifatul Sembiring. Kepada wartawan, menteri dari PKS itu mengemukakan bahwa vonis tersebut menjadi preseden buruk bagi industri ISP di Indonesia.
Tidak itu saja, Tifatul juga mengaku berencana menyampaikan kajian hukum kasus ini kepada presiden dan "menawarkan" dialog dengan pihak yudikatif untuk "meluruskan kasus" ini agar tidak membunuh industri telekomunikasi di Tanah Air.
Namun, setelah petinggi Mahkamah Agung dan Kejagung mengkritik penawaran dialog itu sebagai upaya mengganggu independensi lembaga peradilan, kepada GATRA, Tifatul meralat niat untuk melaksanakan "forum penjelasan" sebagaimana yang ia sebut terakhir itu.
Menanggapi keberatan yang muncul atas vonis itu, Jaksa Agung Basrief Arif meminta semua pihak menghormati keputusan pengadilan tipikor tersebut. "Biarkanlah itu berjalan sampai berkekuatan hukum tetap, nanti kita lihat selanjutnya," ujarnya.
Hal yang sama diutarakan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Andhi Nirwanto. Ia justru mengapresiasi putusan hakim tipikor terkait kasus Indosat-IM2 itu. "Karena ternyata putusannya bulat, tidak ada dissenting opinion. Artinya, pendapat jaksa diterima majelis hakim," kata Andhi.
Meski pihak Indar Atmanto dan Indosat serta IM2 telah resmi menyatakan banding, kekhawatiran atas dampak putusan hakim Tipikor PN Jakarta Pusat itu mulai mengemuka.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Nonot Harsono, menyebut putusan itu mengancam industri telekomunikasi di Tanah Air, "Kiamat industri internet di Indonesia sudah di depan mata," ujarnya.
Nonot menambahkan, jika diterapkan secara konsisten, putusan itu akan mematikan ratusan ISP yang prinsip bisnisnya serupa dengan IM2. Saat ini, dalam hitungan Nonot, ada sekitar 200 content provider (umumnya yang berjualan lagu dan game lewat infrastruktur jaringan frekuensi), ditambah ratusan lainnya ISP untuk jasa jaringan ATM, vending machine.
"Termasuk RIM selaku penjual jasa layanan BlackBerry Messenger juga harus bayar BHP Frekuensi," katanya.
Sepakat dengan Nonot, Wakil Ketua Komite Tetap Bidang TI Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Teguh Anantawikrama, memastikan bahwa keputusan itu akan berisiko besar matinya berbagai jenis layanan berbasis internet dan potensial mempengaruhi perekonomian.
"Sederhananya, putusan ini memidanakan penggunaan jasa internet. Padahal, kini nyaris semua aspek kehidupan manusia bergantung pada internet," ucap Teguh.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Sammy Pangerapan, menyebut putusan itu akan membangkrutkan banyak ISP yang beroperasi dengan skala usaha kecil dan menengah (UKM), juga --bahkan-- setiap pengguna seluler yang menggunakan frekuensi radio pula.
"Pengguna telepon seluler untuk telepon, mengirim pesan singkat (SMS), dan broadcast messenger yang memakai frekuensi radio akan juga dianggap sebagai koruptor," kata Sammy.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Mastel (Masyarakat Telematika) Indonesia, Eddy Thoyib, menyebut vonis itu menyuratkan ketidakpastian hukum di Indonesia.
Karenanya, menurut Eddy, belakangan muncul wacana di antara penyelenggara jasa dan penyelenggara jaringan internet untuk mengembalikan izin kepada pemerintah. "Daripada kita pegang izin, terus dikriminalkan," tuturnya.
Di tengah kekhawatiran itu, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menamakan diri Realisasi Implementasi Pemberantasan Kolusi Korupsi dan Nepotisme (RIP-KKN) justru mendesak Kejagung agar menindak lima penyelenggara jaringan yang bekerja sama dengan 16 ISP karena melakukan skema bisnis --yang dalam perspektif putusan hakim tipikor-- ilegal seperti halnya Indosat-IM2.
Ketua RIP-KKN, Rolas Budiman Sitinjak, mengatakan bahwa pihaknya telah melaporkan dugaan tindak pidana korupsi itu ke Kejagung.
Yang dilaporkan adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi, dengan modus perjanjian kerja sama dengan penyelenggara jasa telekomunikasi dan tidak membayar biaya hak penggunaan (BHP) sehingga terjadi kerugian negara.
Di antara penyelenggara jaringan yang dilaporkan adalah Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat.
Sedangkan di antara 16 ISP dalam posisinya sebagai penyelenggara jasa adalah Indonet, BizNet, CBN, Centrin Online, Quasar, dan Lintasarta.
Tidak tanggung-tanggung, dari hitung-hitungan RIP-KKN, dugaan kerugian negara akibat tidak dibayarkannya BHP oleh ISP itu sebesar Rp 16 trilyun.
"Metode perhitungan kami sama dengan perhitungan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) terhadap indosat dan IM2. Rentang waktunya 2010-2012," Rolas memaparkan.
Tidak kalah seramnya, Indar Atmanto memprediksikan, jika vonis itu sampai jadi kekuatan hukum tetap, para pemodal sektor telekomunikasi akan takut berinvestasi di Indonesia dan industri internet lokal akan runtuh.
Lantas, seperti apa jawaban atas kekhawatiran itu dan prediksi-prediksi apokaliptik itu? Mari kita tunggu proses hukum selanjutnya.
[Bambang Sulistiyo, Ade Faizal Alami, Flora Libra Yanti, dan Gandhi Achmad] (Laporan Utama, Majalah GATRA, Beredar Kamis 11 Juli 2013)