RT/RW-net

From OnnoWiki
Jump to navigation Jump to search

RT/RW-net

RT/RW-net sebetulnya memperlihatkan sebuah fenomena ketidak adaan ruang legal bagi infrastruktur berbasis komunitas, yang di bangun dengan peralatan buatan sendiri, dari rakyat, oleh rakyat, oleh rakyat. Tidak ada ruang legal bagi infrastruktur wireless internet menggunakan WiFi. Tidak ada ruang legal bagi VoIP yang berbasis jaringan komunitas.

Satu lagi yang jelas, akses ke peralatan teknologi informasi yang mutakhir tidak cukup. Pengetahuan tentang teknologi informasi dalam bahasa Indonesia menjadi penting, tentunya perlu strategi yang untuk membangun pengetahuan lokal secara swadaya masyarakat dan menyebarkannya secara murah.


1996 Istilah RT/RW-net

Istilah RT/RW-net pertama kali digunakan sekitar tahun 1996-an oleh para mahasiswa di Universitas Muhammadyah Malang (UMM), seperti Nasar, Muji yang menyambungkan kos-kos-an mereka ke kampus UMM yang tersambung ke jaringan AI3 Indonesia melalui GlobalNet di Malang dengan gateway Internet di ITB. Sambungan antara RT/RW-net di kos-kosan ke UMM dilakukan menggunakan walkie talkie di VHF band 2 meter pada kecepatan 1200bps.

Diutarakan oleh Bino, waktu itu masih di GlobalNet, secara bercanda para mahasiswa Malang ini menamakan jaringan mereka RT/RW-net karena memang di sambungkan ke beberapa rumah di sekitar kos-kosan mereka.

Implementasi Awal RT/RW-net

Implementasi yang serius dari RT/RW-net dilakukan pertama kali oleh Michael Sunggiardi di perumahannya di Bogor sekitar tahun 2000-an. Banyak kisah sedih yang diceritakan oleh Michael Sunggiardi karena sulitnya mencari pelanggan di awal 2-3 tahun operasi RT/RW-net-nya. Sebagian besar tetangga beliau pada saat itu tidak merasa butuh akses Internet 24 jam dari rumahnya.

RT/RW-net Michael Sunggiardi sempat menjadi feature di acara e-lifestyle MetroTV.

Michael Sunggiardi banyak menggunakan kabel LAN untuk menyambungkan antar rumah. Karena lebih reliable dan lebih murah di bandingkan dengan menggunakan radio / wireless LAN.


UU 36/1999 tidak berpihak pada Infrastruktur Rakyat

Dari sisi legalitas, sebetulnya RT/RW-net tidak legal karena berdasarkan UU 36/1998 maupun berbagai PP & KEPMEN dibawahnya hanya operator telekomunikasi yang berhak membangun sebuah infrastruktur telekomunikasi. Jelas kerangka kebijakan yang ada lebih banyak ditujukan kepada usaha besar dengan peralatan kelas Cisco. Tidak pernah terpikir oleh pemerintah bahwa sebagian besar akses akan berkembang dari jaringan sekolah, jaringan RT/RW-net yang mungkin beroperasi tanpa ijin usaha, atau maksimum sebuah CV saja, dengan peralatan seadanya bahkan dengan router buatan sendiri dari PC kelas Pentium II.

Berbasis pada pengembangan konsep infrastruktur telekomunikasi rakyat, yang bertumpu pada teknologi Internet tanpa kabel pada band ISM & UNII di frekuensi 2.4GHz dan 5-5.8 GHz implementasi RT/RW-net mulai di lakukan. Teknologi Warung Internet yang relatif sederhana dan mapan di kembangkan untuk menyambungkan komputer tetangga menggunakan kabel LAN untuk menjadi RT/RW-net. Secara sederhana sambungan 24 jam ke Internet Service Provider (ISP) yang harganya Rp. 4-8 juta/bulan, di bagi 20-80 tetangga untuk mencapai biaya operasi Rp. 150-300.000/bulan/ rumah 24 jam ke Internet. Jika dilakukan bertumpu pada pembentukan kebutuhan (demand creation), bukan pembangunan infrastruktur semata, investasi sambungan yang besarnya antara Rp. 1-4 juta akan kembali modal dalam waktu 1-1.5 tahunan. Gilanya, semua dilakukan tanpa perlu bergantung kepada Telkom maupun pemerintah.

Teknologi Internet tanpa kabel menjadi menarik karena diluar negeri frekuensi 2.4 GHz, maupun 5-5.8 GHz di bebaskan dari ijin frekuensi, akibatnya peralatan komunikasi data pada frekuensi tersebut dapat diperoleh dengan mudah, murah selain mudah dioperasikan (user-friendly). Bayangkan sebuah card Internet tanpa kabel pada kecepatan 11-22Mbps dapat di peroleh seharga Rp. 350-500.000 per buah, tinggal dibuatkan antenna parabola kecil, atau antenna kaleng susu cukup menjangkau jarak jauh 3-5 km.

Di Indonesia, perjuangan untuk membebaskan 2.4 GHz & 5-5.8 GHz dari penindasan aparat telah menelan banyak korban, berakibat di bebaskannya frekuensi 2.4GHz untuk penggunaan Internet sejak January 2005. Sayangnya, hingga hari di tahun 2006 penggunaan 5-5.8GHz hanya dapat dinikmati dengan membayar setoran sekitar Rp 20 - 25 juta / tahun / node kepada pemerintah. Itupun hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai ijin ISP / operator telekomunikasi, akibatnya rakyat kecil, yang bermodal kecil tidak mungkin untuk memperoleh ijin frekuensi tsb.


2006 RT/RW-net di INDOWLI

Di tahun 2005-2006, setelah frekuensi 2.4GHz di bebaskan. Tampaknya RT/RW-net menjadi sangat booming, hal ini dapat di monitor dari dekat dari berbagai diskusi yang terjadi di mailing list indowli@yahoogroups.com, banyak sekali permohonan akses RT/RW-net yang dilayangkan ke mailing list indowli@yahoogroups.com.

Dengan teknologi RT/RW-net sangat mungkin sebuah rumah untuk memperoleh akses Internet 24 jam dengna biaya relatif murah. Di tahun 2006, rata-rata biaya langganan RT/RW-net sekitar Rp. 250-350.000 / bulan untuk akses Internet 24 jam. Berita yang menarik terjadi di Bandung, beberapa kos-kosan juga mengembangkan kos-kos-an Net di bawah RT/RW-net dan menarik sekitar Rp. 50.000 / bulan untuk setiap anak kos yang mengakses Internet 24 jam. Dengan cara ini Internet menjadi sangat terjangkau untuk para mahasiswa.

Cuplikan menarik di Mailing List INDOWLI oleh Hamzah Iza 7 Agustus 2006 10:13pm. Yang diperlukan utk rtrwnet sederhana:

  • Izin tetangga ( rt/rw)
  • Tower dan asesorisnya atau bisa juga pipa ledeng (sesuai kebutuhan dan selera)
  • Koneksi internet (bisa wireless, cable, ADSL, satellite, dll)
  • Access Point
  • Antena
  • Router
  • beberapa unit paket client (biar kalo ada yang mau berlangganan bisa langsung pasang)
  • Operator, tehnisi, dan marketing
  • Formulir pendaftaran
  • alat administrasi (logbook, pembukuan, dll)

2007 laporan sweeping RT/RW-net

Seperti biasa, setelah berjalan beberapa mulai terjadi tindakan represive terhadap RT/RW-net yang di sweeping oleh Balai Monitoring POSTEL. Argumentasi yang digunakan adalah ijin ISP. Agak ajaib sebuah RT/RW-net kalau harus memiliki ijin ISP yang di tanda tangani oleh seorang Menteri. Bayangkan MENKOMINFO harus menanda tangani juta-an ijin RT/RW-net seluruh Indonesia - apa tidak pegel itu tangan?

Beberapa Pengalaman RT/RW-net