BWA - The fuel of modern industrialisation

From OnnoWiki
Revision as of 13:08, 2 November 2009 by Onnowpurbo (talk | contribs) (New page: Oleh: Budi Wahyu Jati '''“Pada abad ke-21, ketersediaan akses broadband yang makin meluas akan menjadi faktor penentu bagi kemakmuran ekonomi suatu bangsa, seiring dengan kehadiran rev...)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Oleh: Budi Wahyu Jati

“Pada abad ke-21, ketersediaan akses broadband yang makin meluas akan menjadi faktor penentu bagi kemakmuran ekonomi suatu bangsa, seiring dengan kehadiran revolusi digital yang menggantikan revolusi industri,” demikian ungkap Budi Wahyu Jati, Country Manager Intel Indonesia Corporation.

Sejarah mencatat bahwa kemakmuran dan kemajuan suatu bangsa tidak hanya diwujudkan dari hasil kebijakan moneter dan fiskal pemerintahan semata, namun juga muncul dari hasil manajemen dan strategi ekonomi dalam hal investasi dan inovasi untuk generasi mendatang. Hal ini dimulai sejak Revolusi Industri, salah satu peristiwa sejarah paling penting pada akhir abad ke-18 dan 19 dengan munculnya kelompok besar elite ekonomi di Eropa. Sepanjang era tersebut, berbagai perubahan besar dan investasi dilakukan pada sektor seperti pertanian, industri manufaktur, transportasi dan infrastruktur logistik. Dari sini, munculah sebuah periode pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada sistem ekonomi kapitalis seperti yang dianut Amerika Serikat dan Inggris.

Kunci kesuksesannya adalah pada kemampuan negara tersebut untuk mendapatkan akses informasi atau pengetahuan (know-how) dalam periode tersebut, baik dalam bidang pertanian, manufaktur tekstil, maupun transportasi. Sebelum ditemukan dan digunakannya internet sebagai sumber informasi yang super cepat, metode yang biasa digunakan untuk bertukar informasi pada masa itu adalah melalui keikutsertaan dalam program study tour seperti misi Iwakura dari Jepang pada 1871 yang menghabiskan waktu hingga dua tahun untuk menyelesaikannya. Pertukaran informasi tersebut kiranya dapat mempertahankan momentum industrialisasi, dan faktor ini merupakan salah satu penyebab utama Jepang menjadi negara ekonomi kuat seperti saat ini.

Akan halnya revolusi digital saat ini bergerak sangat cepat menuju tahapan baru, yang menciptakan masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge society) dan ekonomi berbasis informasi (information economy), dimana pengetahuan –jika dibandingkan dengan mesin dan peralatan— keduanya merupakan komoditas dan juga modal. Pada saat sebuah gagasan bisa diwujudkan menjadi suatu inovasi yang bernilai triliunan dolar, secepat apapun gagasan itu dikembangkan dan dipasarkan, sebelum persaingan mengalahkan mereka, akses broadband internet saat ini menjadi faktor penentu bagi kesuksesan ekonomi di masa depan.

Sejauh ini, negara maju telah memperkuat dengan investasi dalam jumlah besar pada sektor ini. Sementara negara berkembang masih jauh tertinggal dalam investasi, untuk bisa bersaing di abad ke-21.

Wilayah Asia Pacifik yang terdiri dari beberapa negara yang memiliki keragaman, potensi besar dan pasar yang berkembang di dunia, termasuk di antaranya China, India, Indonesia, Pakistan, Filipina, Korea Selatan dan Vietnam. Lembaga internasional Goldman Sachs bahkan mengidentifikasi beberapa pasar yang mungkin akan muncul sebagai negara terkaya pada 2050 dan bisa mengendalikan ekonomi dunia. Pasar yang berkembang ini sebagian besar telah membangun kekayaan ekonomi mereka di bidang pertanian dan manufaktur. Namun, apabila bidang tersebut hanya berdiri sendiri, kemungkinan tidak akan cukup mampu untuk menyesuaikan pertumbuhan populasi dalam kurun 10, 20 hingga 100 tahun mendatang.

Oleh karena itu, pihak pemerintah dan swasta di kawasan Asia Pasifik seharusnya lebih bijaksana untuk dapat lebih memberikan prioritas untuk investasi dalam infrastruktur broadband, demi mendorong ekonomi berbasis informasi (information economy) yang pada akhirnya akan mendapatkan keuntungan dari pengaruhnya yang signifikan terhadap produktivitas nasional, pertumbuhan ekonomi, persaingan dunia internasional, serta keterikatan sosial.

Kenyataan ini menjadi sebuah catatan penting tersendiri bagi pemimpin di Asia. Pada tahun 1997 dan 1998, satu dasawarsa sebelum krisis keuangan yang terjadi saat ini, krisis ekonomi Asia memaksa pemimpin di kawasan tersebut memikirkan kembali strategi mereka untuk membawa negara mereka ke milenium berikutnya. Dalam konteks ini, bisa dilihat pada Malaysia. Pada 2002, pemerintah Malaysia menyadari pentingnya era informasi dan melegalisasikannya melalui undang-undang bagi pengembangan broadband melalui National Broadband Plan dengan visi yang “memungkinkan Malaysia bersaing secara ekonomis dengan negara-negara lainnya di dunia, dimana broadband menjadi perangkat yang penting bagi dunia bisnis.”

Tak hanya Malaysia. Pemerintah Australia juga telah mengalokasikan dana AUD $4,7 miliar untuk mengimplementasikan jaringan broadband nasional yang ditargetkan untuk menjangkau 98% populasi Australia. Langkah ini mengindikasikan bahwa masa depan ekonomi ini akan terkait erat secara langsung dengan akses infrastruktur broadband.

Di pasar negara berkembang, broadband bisa menjadi indikator tidak langsung untuk Produk Domestik Bruto (GDP), seperti bidang kesehatan dan pendidikan. Akses broadband memungkinkan perkembangan signifikan pada keduanya yaitu telemedicine (pengobatan jarak jauh) dan distance education (pendidikan jarak jauh) yang saat ini belum memungkinkan untuk dilaksanakan. Divisi penelitian pemerintah Australia, CSIRO, mengembangkan ECHONET, yaitu sebuah mobile broadband untuk sistem telemedicine yang secara virtual membawa para ahli agar dapat membantu mengoperasikan intensive care unit dari jarak jauh - tanpa perlu berada di lokasi. Teknologi seperti ini sangat penting untuk negara berkembang, dimana terdapat keterbatasan jumlah ahli kesehatan dan SDM yang tersedia.

Penggerak ekonomi yang ada di negara besar di kawasan Asia Pasifik adalah sektor pertanian, manufaktur dan jasa, dimana sektor bisnis tersebar dari pedalaman hingga wilayah kota. Dalam hal ini, tak cukup hanya internet broadband saja yang harus berjalan “cepat” namun juga harus bisa bergerak (mobile), sehingga ketersediaan informasi yang penting tetap tersedia pada wilayah dimana pekerjaan dilakukan, tidak hanya terbatas di area dimana jaringan kabel tersedia.

Instalasi fixed broadband memiliki kendala geografis jika diterapkan pada negara dengan populasi yang tersebar di berbagai daerah baik kota maupun rural. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan untuk layanan broadband mobile. Untuk pasar negara berkembang, pada praktiknya juga ada hal yang menghambat jaringan broadband dengan fibre atau ADSL, karena dari sisi pendanaan, akan sangat sulit untuk terus-menerus membiayai jaringan kabel yang mencakup seluruh negara untuk menjangkau jutaan penduduk seperti di India. Teknologi generasi baru seperti WiMAX tentunya akan sangat efektif dalam hal biaya, solusi backhaul untuk membantu membangun infrastruktur yang mendukung pertumbuhan dalam Information Economy di negara tersebut. Saat ini, WiMAX merupakan satu-satunya teknologi nirkabel 4G yang sudah tersedia secara komersial di Asia Pasifik, antara lain seperti yang tersedia di Malaysia (Paket One) dan Singapura (QMAX).

Broadband dan peningkatan pengetahuan adalah katalisator yang hebat untuk pertumbuhan. Faktanya, ada korelasi langsung antara pertumbuhan broadband dan ekonomi seperti terlihat pada model teledensitas yang digunakan oleh ITU. Perbandingan statistik antara GDP dan broadband juga mendukung hal ini.

Singapura adalah contoh yang menarik. Sekitar 70% dari GDP diperoleh dari industri jasa dengan penetrasi broadband yang tinggi yaitu 61,1%. Sementara angka GDP-nya mencapai USD$49.900. Bandingkan angka tersebut dengan India yang hasilnya juga luar biasa. India memperoleh 52,8% GDP miliknya dari industri jasa, namun dengan penetrasi broadband hanya 0,47%, sedangkan GDP per kapitanya adalah USD$2.600.

Sektor jasa di Indonesia adalah 38% dari GDP. GDP per kapitanya adalah USD$3.600. Sebagian besar hasil ekonomi Indonesia masih diperoleh dari pertanian. Penetrasi broadband di Indonesia masih cukup rendah, yaitu 0,11% dari keseluruhan populasi. Hal ini adalah masalah yang sudah lama diketahui dan Investor Group Against Digital Divide (IGADD), kelompok investor nirlaba telah mendapatkan dukungan pemerintah untuk membantu mengatasi hal ini. Kelompok ini menargetkan untuk dapat mencapai 50 juta koneksi internet baru di Indonesia pada 2012.

Ini adalah berita baik untuk kawasan sepanjang momentum ini tetap berlanjut. Kebanyakan pemimpin di Asia menyadari pentingnya pengetahuan berbasis ekonomi (knowledge economy) dan hingga saat ini telah giat untuk melalukan investasi. Infrastruktur yang sedang dibangun dapat membantu bisnis, pelajar, dan pemerintah untuk mengakses pengetahuan di seluruh dunia demi membangun landasan bagi kemakmuran di masa mendatang. Boleh jadi pada 100 tahun mendatang, inovasi internet tak lagi datang dari Silicon Valley, tapi dari Klang Valley, atau dari pesisir Mekong.


Notes on the statistics