Hidup dari Sampah
Hidup dari sampah, belajar dari Prof Hasan Poerbo
ditulis oleh :
Emil Salim Mantan Mentri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Harian Kompas, 23 Juni 2005
Tenggorokan terasa masih tersumbat bila terkenang masyarakat Leuwigajah dan Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, meninggal akibat longsoran tumpukan sampah hasil penimbunan terbuka (open dumping).
Ingatan melayang ke 1980-an, saat Imelda Marcos, Mentri Lingkungan Hidup merangkap Gubernur Metropolitan Manila, dikecam keras karena membiarkan sampah menumpuk melalui sistem "penimbunan terbuka", lalu longsor memakan ribuan jiwa penduduk miskin.
Bencana Manila menjadi peringatan bagi pemerintah kota untuk menghapus sistem penimbunan terbuka. Untuk mengganti penimbunan, Prof Hasan Poerbo, Pemimpin Pusat Studi Lingkungan Hidup Institut Teknologi Bandung (PSLH ITB), mengembangkan gagasan "mendaur ulang sampah berbasis masyarakat".
Setiap kota besar pasti menghasilkan sampah dan memiliki pemulung miskin yang menggantungkan nafkahnya pada usaha mendaur ulang sampah. Hasan Poerbo, pencinta lingkungan, berempati pada rakyat miskin. Karena itu, lahir gagasan memadukan pengelolaan sampah dan melibatkan pemulung guna meningkatkan pendapatan mereka dalam konsep "hidup dari sampah".
Prinsip pertama konsep ini adalah memberdayakan pemulung sebagai ujung tombak usaha daur ulang sampah untuk dijual ke pelapak yang memilah sampah menurut kegunaannya. Sampah terpilah dijual ke bandar yang mengolahnya menjadi biji pelet sebagai bahan baku pembuatan alat rumah tangga dan mainan anak2.
Pada tahun 1980-an, Pasar Rumput menjadi outlet barang-barang plastik buatan industri rumah kawasan Manggarai dari bahan baku plastik asal sampah. Piring, gelas, botol kecap, dan tempat sambal di warung dan penjual makanan kereta dorong banyak terbuat dari bahan baku plastik asal daur ulang sampah.
Ketika memberdayakan para pemulung mengelola sampah, terungkap kesulitan hubungan pemulung dengan penguasa dan pejabat lokal. Banyak pemulung tidak memiliki "kartu tanda penduduk (KTP)" sehingga dianggap bukan penduduk sah dan perlu diusir ke luar kota oleh aparat pemerintah kota dan polisi. Tanpa KTP mereka menjadi non-person, tanpa hak legal untuk memiliki tempat hunian sah bebas dari penggusuran. Sebagai non-person mereka juga tidak bisa menikah secara resmi di kantor agama.Menyadari hal ini, Hasan Poerbo dkk. PSLH ITB membangun tempat hunian dengan lingkungan bersih sebagai domisili pemulung di Kampung Jati Dua, Kotamadya Bandung. Dengan alamat yang menetap diurus KTP pemulung. Dengan kartu ini, resmilah mereka menjadi warga Kota Bandung dan terbuka kemungkinan mengurus perkawinan resmi mereka. Sebanyak 100 pasang menikah secara bersamaan di hadapan penghulu kantor agama disaksikan Menteri Lingkungan Hidup, Walikota Bandung, dan Rektor ITB dalam acara yang murah meriah.Hubungan antara pemulung dan PSLH terjalin erat dalam kerjasama efektif menanggulangi sampah kotamadya Bandung. Walikota Bandung Ateng Wahyudi mendukung sepenuhnya usaha ini sehingga Bandung berhasil meraih Adipura Kota Terbersih di tahun 1980-an.
Prinsip kedua, menanggulangi sampah selagi volumenya masih kecil di tingkat RT/RW atau kelurahan. Sampah, seperti api, selagi volumenya kecil, lebih mudah dikelola ketimbang menjadi besar sulit dikendalikan dan membawa bencana. Sampah terdiri dari bahan organis yang bisa diolah menjadi pupuk kompos dan bahan anorganis yang bisa didaur ulang para pemulung. Pengelolaan sampah lebih mudah saat volumenya masih kecil.
Ini membawa kita pada prinsip ketiga menanggulangi sampah dengan pendekatan "dari bawah" dalam merencanakan, melaksanakan, kontrol, dan evaluasi dengan semangat partisipatif merangsang masyarakat berperan serta secara aktif.
Adalah rumah tangga sendiri yang menghasilkan sampah dan kelak menderita jika sampah menumpuk busuk dan mengganggu kesehatan warga. Tetapi lebih dari ini, sampah bisa jadi uang bila dikelola dengan baik.
Prinsip keempat, memberi penghargaan dan pengakuan atas jerih payah anggota masyarakat yang terbukti berhasil mengelola sampah. Dinas-dinas pemerintahan tidak perlu mengerjakan pengelolaan sampah sendiri atau "memproyekkannya" pada swasta atas dasar komersial murni tanpa lebih dulu menjajaki kesediaan masyarakat untuk mengelolanya bersama swasta dan pemerintah. Tugas birokrat seyogianya menggunakan retribusi sampah untuk menciptakan iklim agar penanggulangan sampah menjadi gerakan masyarakat dengan kesadaran. Tunbuhnya kesadaran inilan yang sepatutnya pemerintah rangsang, kembangkan dan hargai.
Prinsip kelima mengembangkan sanitary landfill, menimbun sampah di tanah yang berlekuk untuk ditutup dengan lapisan tanah. Ini dilakukan secara berulang dan membentuk "kue lapis" terdiri atas penimbunan sampah yang ditutup tanah. Tanah yang semula berlekuk menjadi rata oleh sanitary landfill shg harganya naik berlipat kali krn bisa dipakai untuk berbagai keperluan, seperti olahraga dan taman hijau. Pengelolaan sampah pun tumbuh menjadi "sentra keuntungan". Yang penting harus dijaga agar sampah tidak merusak lingkungan, merembes dan mencemari air tanah.
Sebuah film dokumenter berjudul Hidup dari sampah telah merekam usaha pengelolaan sampah oleh PSLH ITB. Pada tahun 1980-an, pola pendekatan pengelolaan sampah serupa itu berkembang di berbagai kota. Maka tercatat Linus Simanjuntak, Direktur Kebun Binatang Ragunan, berhasil menerapkan pola PSLH ITB mengelola sampah menjadi pupuk kompos di kebun binatangnya. Leuwigajah menjadi proyek percontohan Kabupaten Bandung untuk pembuatan pupuk kompos dari sampah dan pengembangan sanitary landfill.
Proyek percontohan serupa juga dikembangkan di Surabaya, yang merebut Adipura Kota Terbersih. Central Policy and Implementation Studies Jakarta, dipimpin pelaksana proyek Darwina (kini mempimpin Yayasan Pembangunan Berkelanjutan) mengembangkan pengelolaan sampah untuk Bumi Serpong. Yayasan Dian Desa Yogjakarta dipimpin Anton Soedjarwo mengembangkan proyek pengomposan sampah untuk Kabupaten Bantul.
Dalam melaksanakan program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), di bawah pimpinan Ibu Munadi dan Ibu Soepardjo Roestam, melibatkan ibu-ibu di RT,RW, dan kelurahan di seluruh Tanah Air ikut mengelola kebersihan lingkungan.Salah satu ibu yang menonjol adalah Ibu Harini, pemimpin PKK RW Banjarsari, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, dan pemimpin posyandu, yang melatih dan mendorong mahasiswa dan anggota berbagai kelompok masyarakat madani aktif mengelola sampah berbasis masyarakat. Ibu Harini juga memelopori pengembangan "tanaman obat keluarga" di halaman rumah kawasan RW Banjarsari.
Gubernur Jambi Sofwan Maskun saat lalu juga aktif mendorong kebersihan kota dan daerah Jambi. Tiap rumah dan pengusaha bertanggungjawab memelihara kebersihan emperan rumah atau bangunan masing-masing. Penduduk Ubud, Bali, lebih maju dengan mengolah limbah menjadi bio gas energi untuk memasakdan penerangan rumah.
Masih banyak contoh yang bisa dikutip untuk menunjukkan kesediaan masyarakat aktif berperan serta mengelola sampah, memelihara keasrian lingkungan hidup. Penting menjadikan program pengelolaan sampah dengan 5 prinsip suatu gerakan masyarakat. Prinsip-prinsip ini bisa diperluas dengan mengelola dengan mengelola limbah sanitasi jamban keluarga.
Namun perlu diingat, tiap usaha lingkungan merupakan perjuangan jangka panjang yang memerlukan mentalitas pelari maraton, tahan napas, dan tidak bosanan untuk waktu lama. Sasaran jangka panjang harus tetap dipegang dan program jangan senantiasa ganti haluan dengan perubahan pimpinan. Maintenance of objective adalah pegangan menajemen utama.Dalam memperjuangkan sasaran lingkungan, penting memberi inspirasi pada konstituen pendukung gerakan ini. Dalam memimpin gerakan lingkungan, apalagi di bidang 'kotor' seperti pengelolaan sampah, usaha ini tidak cukup dilaksanakan dengan rasio tetapi harus diikuti komitmen.
Profesor Hasan Poerbo telah tiada. Namun, semangat beliau menanggulangi sampah dan kemiskinan tetap menyala tinggi di balik cita-cita luhur "hidup dari sampah", membangun kegunaan dari barang terbuang.