Difference between revisions of "Sejarah Internet Indonesia:IT untuk Demokrasi Pemilu 2004"
Onnowpurbo (talk | contribs) |
Onnowpurbo (talk | contribs) |
||
Line 37: | Line 37: | ||
Seperti pernyataan Nazaruddin: "Physical conflicts or even bloody conflicts had been prevented, thanks to the KPU's IT facilities that had allowed non-stop and transparent broadcasting of the votes won by every party." | Seperti pernyataan Nazaruddin: "Physical conflicts or even bloody conflicts had been prevented, thanks to the KPU's IT facilities that had allowed non-stop and transparent broadcasting of the votes won by every party." | ||
+ | |||
+ | |||
+ | |||
+ | ==Pranala Menarik== | ||
+ | |||
+ | * [[Sejarah Internet Indonesia]] |
Revision as of 05:29, 19 September 2009
IT Untuk Demokrasi Indonesia
Keberadaan jaringan internet ternyata juga sangat membantu dalam pemerintahan. Salah satu buktinya adalah dipergunakannya teknologi informasi tsb pada proses Pemilihan Umum 2004.
Cuplikan Perjoeangan Demokrasi Indonesia
- 2004 Cuplikan Perjuangan Relawan IT
- 2004 Pengorbanan Operator Telkom di Lapangan Kutipan e-mail ke Onno W. Purbo
- Rekaman Dikusi TNP KPU 2004
- Total Anggaran IT KPU 2004
IT Komite Pemilihan Umum
Untuk alasan efisiensi, demikian dikemukakan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin dalam Defence Statement yang disampaikan pada Corruption Court Trial, pengembangan fasilitas dan system pemilu dibuat bersifat future-oriented, yang artinya bahwa fasilitas dan system tersebut dapat dipergunakan kembali di masa mendatang oleh institusi lain. KPU mengembangan Program Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan atau P4B yang ditujukan untuk membentuk suatu database populasi Indonesia yang rencananya, bila selalu diperbaharui (updated) secara periodic, dapat mempermudah pekerjaan team fasilitator pelaksanaan Pemilu (KPU) dalam mendata masyarakat yang memiliki hak suara dalam pemilu mendatang, dan bahkan dalam proses Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada). Database tersebut juga kemudian dipergunakan dalam program pasca-Tsunami di Aceh melalui akses http://tnas.kpu.go.id. Kemudian, Kotak Suara dan pencoblosan akan dipergunakan kembali di masa mendatang, baik dalam Pemilu maupun Pilkada, sehingga pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk itu.
Yang terakhir adalah pengembangan jaringan teknologi informasi dan pusat data serta pusat penanggulangan bencana di 32 Propinsi, 440 Kabupaten/Kotamadya, dan 4.167 Kecamatan. Kesulitan KPU pada saat awal pengembangan jaringan ini adalah tidak tersedianya data infrastruktur yang diperlukan untuk pembangunan jaringan, seperti jaringan listrik dan saluran telepon di seluruh Indonesia. Nazaruddin mengklaim bahwa KPU memulai pengumpulan data dari nol hingga mereka berhasil membangun jaringan komunikasi ke seluruh Indonesia dengan biaya yang sangat rendah, bahkan dilihat dari standar Negara yang paling miskin di Asia. Dalam pelaksanaan Pemilu, jaringan teknologi informasi KPU dijalankan oleh total 54.900 orang relawan, terdiri dari mahasiswa, guru, dan siswa sekolah menengah, menghubungkan simpul dan daerah seluruh Indonesia serta Kedutaan dan kantor perwakilan Indonesia di luar negeri dengan KPU pusat di Jakarta.
Menurut Onno W. Purbo, perjuangan pengembangan jaringan internet sekolah dengan program revolving-fund untuk menyambungkan ribuan SMK di Indonesia ke Internet yang dilakukan Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan Diknas, Dr Gatot H.P]. memperlihatkan hasil dan manfaat yang besar bagi pemerintah Indonesia. Jika saja pemerintah mau memfokuskan sumberdaya Indonesia untuk mengembangkan jaringan internet di dunia pendidikan, Negara dan pemerintah akan memiliki 'resource yang berharga bagi pelaksanaan pemilu selanjutnya, tahun 2009.
Nazaruddin menyatakan, tidak ada pihak diluar KPU yang percaya bahwa masalah logistic yang kompleks di seluruh TPS dan simpul seluruh Indonesia dapat diselesaikan pada waktunya, namun dengan bantuan para relawan, hal tersebut dapat diatasi oleh mereka yang terlibat dalam KPU, sampai pada relawan lapangannya, hingga Prof.Dr.Amien Rais berkomentar bahwa KPU 'bekerja seperti budak'.
Komentar serupa diberikan Onno W. Purbo. Dalam salah satu e-mail-nya diceritakan bagaimana 17.000 operator teknologi informasi dalam pemilu 2004 bekerja 'rodi' 24 jam dengan diselingi cacian dan makian dari parpol.
Mula-mula, KPU harus mengumpulkan data pemilih seluruh Indonesia dan mengkaitkan sekitar 4000 kecamatan dengan jaringan teknologi informasi. Butuh waktu 2 (dua) bulan bagi IT KPU untuk melacak dan mengumpulkan data kecamatan dan contact person di tiap kecamatan untuk jaringan teknologi informasi pemilu, dan setelah berjuang sekitar satu tahun, pada akhirnya IT KPU memiliki data 147 juta pemilih, terpusat di data center KPU. Menurut Onno W. Purbo, disini IT KPU merangkap fungsi BPS dan SIMDAGRI dalam pendataan penduduk. Suatu kerja yang tidak ringan, harus dilaksanakan dan selesai dalam waktu yang singkat. Selanjutnya dengan data yang ada, pengiriman computer untuk kepentingan pendataan dan distribusi informasi suara dilakukan.
Kemudian komunikasi data dari Kecamatan ke KPU ternyata mengalami kesulitan juga, karena ternyata hanya 2578 kecamatan yang dapat dilayani Virtual Pivate Network (VPN) dari Telkom, sementara sisanyta harus menggunakan telepom satelit Byru yang diberikan Pacific Satelit Nusantara (PSN). Kesulitan lainnya dalah kecepatan akses publik ke site http://www.kpu.go.id yang sangat lambat karena kecepatan internet KPU yang hanya 1Mbps, sesuai kontrak kecepatan dengan PT Telekomunikasi Indonesia. Namun kemudian dengan bantuan APJII, PSN, dan Kabelvision, bandwidth dapat ditingkatkan ke Indonesia Internet Exchange (IIX) menjadi 100Mbps secara cuma-cuma.
Kesulitan teknis juga dialami relawan IT di daerah-daerah. Menurut Kasmadi, salah seorang coordinator sub-simpul Teknologi Informasi Pemilu 2004 yang juga adalah guru SMK di Solo dan aktifis Jaringan Informasi Sekolah (JIS) mengatakan bahwa, berbagai permasalahan TI pemilu antara lain disebabkan kurangnya sosialisasi pengisian salah satu form penghitungan suara hingga ke tingkat terbawah poin penghitungan suara, terlalu banyaknya tugas PPK sehingga mereka terlalu lelah untuk mengoreksi data, dan ketidaktahuan tentang program situng ~ yang memperlihatkan ketidakpahaman atau lambatnya sosialisasi masalah teknis dari pusat kepada para relawan TI. Penghitungan suara juga ternyata masih dilakukan manual dari TPS ke Kecamatan.
Kemudian, setelah penghitungan suara, terjadi penolakan partai terhadap hasil penghitungan IT KPU, padahal data sampai tingkat TPS ada di IT KPU dan dapat diakses melalui akses http://www.kpu.go.id, Koreksi data dan cross check dari partai dapat dilakukan sampai tingkat TPS terhadap data di KPU.
Namun dengan berbagai kesulitan tersebut, jaringan teknologi informasi ini, menurut Nazaruddin, merupakan salah satu factor yang membantu terselenggaranya pemilu yang damai tahun 2004 lalu, karena data yang tersedia dengan jaringan TI tersebut membuat KPU dapat memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat bahwa suara mereka sampai ke pusat dengan aman. Penghitungan suara bahkan dapat dimonitor hingga ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di daerah-daerah.
Sementara dalam Pilkada 2005, dengan tidak dipergunakannya jaringan TI tersebut di sebagian besar daerah di Indonesia, menurut Nazaruddin, terjadi keributan akibat adanya ketidakpuasan masyarakat dalam prosesnya. Hanya di daerah-daerah dimana jaringan TI KPU dipergunakan seperti dalam 2 tahap pemilihan Gubernur di Jambi dan Bengkulu serta pemilihan Walikota Semarang, Pilkada berjalan lancar dan aman.
Keberhasilan KPU dalam memfasilitasi Pemilu 2004 tersebut, menurut Nazaruddin Sjamsuddin, membuat Indonesia menuai pujian dari berbagai Negara atas keberhasilannya melaksanakan Pemilu yang sukses, demokratis, jujur dan adil serta aman, bahkan dengan kondisi Indonesia sebagai Negara (dengan mayoritas penduduk) Islam terbesar di dunia, sehingga mematahkan pendapat bahwa Islam tidak sejalan dengan demokrasi.
Seperti pernyataan Nazaruddin: "Physical conflicts or even bloody conflicts had been prevented, thanks to the KPU's IT facilities that had allowed non-stop and transparent broadcasting of the votes won by every party."