September 2008 - Agus Hamonangan Moderator Forum Pembaca Kompas di Periksa Polisi

From OnnoWiki
Jump to navigation Jump to search

Barangkali pertama kali dalam sejarah Internet di Indonesia dan mungkin juga Internet di dunia seorang moderator mailing list di periksa oleh Unit Cybercrime di POLDA.

September 2008, Agus Hamonangan Moderator Forum Pembaca Kompas di periksa di POLDA. Berikut adalah beberapa cuplikan berita-nya.



Dari DetikINET http://www.detikinet.com/read/2008/09/04/160225/1000403/399/milis-pembaca-pers-atau-bukan Milis Pembaca, Pers atau Bukan? E Mei Amelia - detikinet

Jakarta - Apakah sebuah mailing list (milis) pembaca media tertentu bisa dikategorikan sebagai pers? Hal itu yang menjadi pertanyaan penyidik dalam kasus pencemaran nama baik di milis. Tepatnya, milis Forum Pembaca Kompas (FPK).

Moderator Milis Forum Pembaca Kompas, Agus Hamonangan pada Kamis (4/9/2008) diperiksa oleh Satuan Kriminal Khusus Cybercrime, Polda Metro Jaya. Agus diberi 12 pertanyaan terkait postingan artikel dari Narliswandi Piliang alias Iwan Piliang di milis FPK.

Salah satunya adalah apakah milis yang dia buat tersebut merupakan bagian dari pers atau bukan. "Saya diperiksa seputar tanggung jawab moderator dalam milis dan prosedur pengiriman e-mail," ujar Moderator Milis Forum Pembaca Kompas, Agus Hamonangan, saat ditemui di Jakarta, Kamis (04/09/08).

Agus, yang didampingi oleh kuasa hukumnya, Nurhidayat, juga menerangkan pemeriksaan terhadap dirinya sebagai saksi dikonfrontir seputar tanggung jawab konten serta milis tersebut bagian dari pers atau bukan. Agus menjelaskan bahwa tanggung jawab konten bukan tanggung jawabnya, namun hal tersebut merupakan tanggung jawab dari pengirim.

Agus juga membeberkan bahwa milis yang dibentuknya sejak Juni 2004 tidak ada kaitannya dengan pers sama sekali. Bahkan Agus sendiri, profesinya sehari-hari adalah sebagai wiraswasta.

"Ini murni forum untuk pembaca Kompas, siapapun boleh bersuara di sana, asal tidak menyinggung soal SARA," ujar pria berkaca mata itu.

Tulisan Iwan Piliang dalam milis pada 20 juni 2008 lalu menimbulkan gugatan dari Alvin Lie. Dalam tulisannya tersebut, Iwan menuliskan: PAN meminta uang sebesar Rp 2 Triliun kepada Adaro agar DPR tidak lakukan hak angket yang akan menghambat IPO Adaro. Bahkan Alvin Lie datang ke Kantor Adaro temui Teddy P Rahmat. Menurut Sumber, Alvin meminta uang sebesar Rp 6 Triliun, terakhir Rp 1 Miliar untuk dirinya.

Atas tulisan yang menuding dirinya tersebut, Alvin Lie pada 14 Juli 2008 lalu melaporkan Iwan Piliang ke Polda Metro Jaya. Anggota DPR Komisi VII, Fraksi PAN ini merasa tercemarkan nama baiknya. Iwan Piliang sendiri belum ditetapkan jadi tersangka.

Apa Pendapat Anda Soal Kasus Ini? Diskusikan di detikINET Forum ( wsh / wsh )



Dari KORAN TEMPO http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/09/03/Metro/krn.20080903.141295.id.html Pemeriksaan Moderator Milis Pembaca Kompas Ditunda

JAKARTA - Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menunda pemeriksaan terhadap moderator mailing list (milis) Forum Pembaca Kompas Agus Hamonangan soal artikel "Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto" karya jurnalis Narliswandi Piliang. Pemeriksaan yang sedianya dilaksanakan kemarin pagi diundur menjadi Kamis nanti.

Agus meminta waktu mencari pengacara yang akan mendampinginya selama pemeriksaan oleh Satuan Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus. "Saya jadinya diperiksa Kamis nanti demi alasan kehati-hatian," katanya ketika dihubungi di Jakarta kemarin.

Penyidik Polda Metro Jaya semula memanggil Agus Hamonangan untuk dimintai keterangan kemarin pagi sekitar pukul 10.00 WIB. Ia akan diperiksa sebagai saksi kasus pencemaran nama baik dan penistaan yang dilaporkan oleh politikus Partai Amanat Nasional Alvin Lie. Alvin menilai Narliswandi mencemarkan namanya dengan menulis artikel itu. "Saya agak kaget, ini pertama kali moderator milis dipanggil polisi," ucap Agus.

Artikel "Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto" aslinya dipublikasikan di presstalk.info pada 18 Juni silam. Dalam tulisan itu, Narliswandi menyebut Partai Amanat Nasional melalui anggota Komisi Energi DPR, Alvin Lie, menerima uang dari PT Adaro agar terhindar dari hak angket pembatalan penerbitan saham perdana Adaro.

Dalam tulisan itu, Narliswandi sudah mengkonfirmasi dugaan itu kepada Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir sebelum artikel diterbitkan. Bahkan, Alvin tak menggunakan hak jawab, tapi langsung mengadu ke polisi pada 14 Juli. "Rupanya, ada anggota milis yang mengirim tulisan itu ke Alvin Lie," ucap Agus.

Narliswandi sudah diperiksa pada 28 Agustus lalu. Penyidik berniat pula menjerat Narliswandi dengan Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. IBNU RUSYDI



Dari OKEZONE http://techno.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/09/05/55/143074/55/ylbhi-materi-pemuatan-milis-tak-masuk-jalur-hukum Computer & IT YLBHI: Materi Pemuatan Milis tak Masuk Jalur Hukum Jum'at, 5 September 2008 - 09:21 wib Stefanus Yugo Hindarto - Okezone


JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai materi pemuatan dalam suatu mailing list (milis) forum diskusi tidak dimasukan ke dalam jalur hukum.

Pernyataan itu terkait kasus pemeriksaan moderator milis Forum Pembaca Kompas (FPK), Agus Hamonangan sebagai saksi perkara pencemaran nama baik di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) selaku pendamping hukum Agus Hamonangan menyatakan, penyidik mengajukan 12 pertanyaan kepada Agus Hamonangan di antaranya adalah prosedur pendaftaran anggota milis, prosedur posting email, dan tanggung jawab moderator terhadap posting email.

Agus diperiksa sebagi saksi terkait pemuatan tulisan berjudul Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto, karya Narliswandi Piliang, atau yan dikenal dengan nama Iwan Piliang. Pelapor kasus tersebut adalah Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional Alvin Lie.

Artikel tersebut awalnya ditulis di Tajuk Rakyat dan tersebar di milis. Dalam artikel itu diceritakan tentang kedatangan Alvin Lie ke PT Adaro untuk menemui Teddy Rahmat. Alvin Lie mengajukan permintaan uang Rp 6 miliar sebagai kompensasi penggagalan hak angket PT Adaro di DPR. Setelah terjadi tawar-menawar kemudian disepakati Rp1 miliar untuk Alvin Lie.

Apabila Alvin Lie berkeberatan terhadap tulisan yang dimuat maka tindakan selanjutnya yang harus dilakukan adalah menjadi anggota milis atau menghubungi moderator untuk memuat jawaban darinya, kata Direktur Publikasi dan pendidikan publik YLBHI, Agustinus Edy Kristianto dalam keterangan resminya, (Kamis 4/9/2008) kemarin.

Seperti dikatakan Agustinus, saksi Agus Hamonangan mengatakan, dalam pendaftaran anggota milis FPK hanya dibutuhkan alamat email saja. Semua bebas mengemukakan pendapat asal tidak berbau suku, agama, ras, antargolongan (SARA). Moderator tidak mengubah isi dari tulisan dan tidak bertanggungjawab terhadap tulisan. Apabila ada yang berkeberatan akan sebuah opini maka biasanya akan ada opini lain yang menjawab dalam milis diskusi FPK. Alvin Lie, tidak memberikan pernyataan untuk menjawab diskusi dalam FKK.

Agus Hamonangan diperiksa oleh penyidik Polda Metro Jaya Sat. IV Cyber Crime yakni Sudirman AP dan Agus Ristiani. Merujuk pada laporan Alvin Lie, ketentuan hukum yang dilaporkan adalah dugaan perbuatan pidana pencemaran nama baik dan fitnah seperti tercantum dalam Pasal 310, 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta dugaan perbuatan mendistribusikan/mentransmisikan informasi elektonik yang memuat materi penghinaan seperti tertuang dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). (srn)



Dari KOMPAS http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/08/01250183/jurnalisme.warga.teknologi.dan.bebas.nilai Teknologi Informasi Jurnalisme Warga, Teknologi, dan Bebas Nilai Senin, 8 September 2008 | 01:25 WIB

Rene L Pattiradjawane

Dalam kemajuan teknologi komunikasi informasi, terutama dalam konteks Indonesia dengan lalu lintas data blog terbesar untuk ukuran global sebagai salah satu dari 30 kota dunia dengan blog yang paling sibuk, ada fenomena penting yang lolos dari perhatian kita.

Kemajuan teknologi memasuki abad informasi, ada upaya kita untuk tidak bisa memisahkan batasan- batasan yang berlaku sesuai kaidah hukum, seolah-olah menulis blog, melakukan aktivitas jurnalisme warga (citizien journalism), menjadi moderator, dan aktivitas di jejaring internet lainnya tidak bisa dihukum.

Dan fenomena ini muncul dalam kehidupan kita, ketika tuduhan terhadap seseorang melakukan korupsi di salah satu situs Web dimasukkan ke mailing list Forum Pembaca Kompas menyebabkan moderator forum dipanggil sebagai saksi oleh kepolisian untuk diperiksa. Persoalan muncul ketika terjadi pertanyaan apakah moderator mailing list tidak bertanggung jawab atas materi isi yang dibahas di forum tersebut dan bebas nilai?

Sebuah situs Web sejenis jurnalisme warga menulis laporan berdasarkan pengalamannya bertemu kenalannya, menyebutkan partai politik meminta uang kepada sebuah perusahaan agar tidak kena hak angket oleh DPR yang bisa menghambat jalannya initial public offering (IPO) perusahaan itu.

Tulisan ini juga menulis nama seorang anggota DPR dari partai yang meminta uang tersebut, yang datang ke perusahaan tersebut meminta uang dalam jumlah besar mulai dari Rp 6 miliar sampai turun ke jumlah Rp 1 miliar. Semua ditulis berdasarkan penuturan kenalan penulis.

Tulisan di situs Web jurnalisme warga ini kemudian diteruskan ke mailing list Forum Pembaca Kompas, kemudian diteruskan lagi oleh salah satu anggota forum ke anggota DPR yang disebut namanya. Akibatnya, anggota DPR ini menuntut penulis tulisan yang ada di situs Web dan forum tersebut, dan pihak kepolisian menjadikan moderator forum sebagai saksi.

Pipa dua arah

Ini persoalan rumit, melibatkan banyak aspek memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi yang menghadirkan fenomena baru dan tanpa preseden sama sekali. Di sisi lain, persoalan ini menjadi ujian penting untuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)yang mengatur keseluruhan hidup dan aktivitas kita di jejaring internet.

Persoalan ini penting untuk mengukur apakah demokrasi yang kita jalankan di jejaring internet adalah bebas nilai yang semaunya mencemarkan nama baik, menuduh seseorang, atau memfitnah atas nama kebebasan berpendapat, berekspresi, dan mengemukakan kebenaran?

Setelah tergulingnya Orde Baru, demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi adalah satu persoalan dalam dua sisi sebuah koin. Sisi pertama, demokrasi dan reformasi yang menggebu-gebu memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi, serta menghadirkan empat presiden yang berbeda-beda, ternyata tidak mampu mengusir kezaliman dan kejahatan diri kita semua dalam cara berpikir dan korupsi.

Artinya, campuran demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi ternyata tidak mengubah apa-apa secara fundamental dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa, dan berinformasi. Kita memang berhasil dalam menikmati kebebasan berpendapat seenaknya, lebih enak dari negara-negara Barat sebagai kampiun kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Sisi kedua, teknologi komunikasi informasi tercampur demokrasi-reformasi, menghasilkan apa yang disebut sebagai jurnalisme warga, yang secara definisi dirumuskan sebagai memainkan peranan aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisa, serta diseminiasi berita dan informasi.

Artinya, dalam era demokrasi-reformasi berbasis informasi sekarang ini semua warga di negara kepulauan Nusantara ini adalah konsumen, semua orang adalah distributor, semua warga menjadi agregator, dan semua orang adalah produser. Menurut CEO Reuters Tom Glocer, dari kantor berita Inggris ternama dan disegani di dunia, kita hidup dalam era pipa dua arah. Glocer menajamkan pengertiannya bahwa semua orang memiliki potensi sebagai mitra dan sekaligus sebagai kompetitor.

Kekisruhan informasi

Kita memahami sedalam-dalamnya, kemajuan teknologi komunikasi informasi yang sekarang menjadi bagian kehidupan digital kita sehari-hari memang telah menghadirkan pilihan baru mengakses informasi seluas-luasnya. Jejaring internet memungkinkan semua warga negara Indonesia untuk memberikan sumbangsih kepada jurnalisme tanpa pelatihan formal.

Jurnalisme warga yang sekarang didengung-dengungkan oleh siapa saja yang memanfaatkan kemajuan jejaring internet, baik memiliki situs Web sendiri dan situs blog yang menjadi fenomena penting kemajuan internet Indonesia, berkembang begitu liar dan berdalih dilindungi oleh undang-undang pers ketika terjadi kekisruhan diseminasi informasi seperti yang terjadi dalam kasus di atas.

Yang harus dipahami, dan ini tidak tercermin dalam perkembangan jurnalisme warga di Indonesia, jurnalisme akan selalu memiliki seperangkat prinsip- prinsip, seperti memeriksa ulang sumber informasi dan memisahkan komentar dan pelaporan. Pada media massa tradisional, kaidah ini mengalami penyaringan sangat ketat dengan berbagai mekanisme news room.

Pada jurnalisme warga, yang muncul seringkali adalah one reporter journalism yang tidak bisa membedakan melaporkan berita dan menjadi berita. Akibatnya, terjadinya tuduh menuduh yang berakibat tercemarnya nama baik seseorang. Ketika menjadi persoalan hukum, bagaimana mungkin one reporter journalism berdalih dan berlindung pada hak jawab yang diatur oleh undang-undang?

Yang tidak kalah menarik adalah tulisan dimuat di situs Web dianggap sebagai kebenaran hakiki dan tidak dimiliki oleh media tradisional. Padahal, mungkin saja informasi yang sama yang ditulis pada situs Web dimiliki oleh reporter di media tradisional, tetapi disimpan di komputer karena masih mentah dan belum layak disajikan sebagai konsumsi umum.

Menjaga kepercayaan

Kemajuan jejaring internet memang telah memberikan pilihan diseminasi informasi yang berlawanan dengan arus utama yang selama beberapa dekade dikuasai oleh media tradisional, mulai dari surat kabar, radio, sampai televisi. Internet menghadirkan tidak hanya jurnalisme warga yang berupaya untuk menjadi alternatif informasi mainstream, mulai dari blog yang masuk dalam kategori user-created-content (UCC).

Sesadar-sadarnya kita memahami pilihan diseminasi informasi dengan semakin luas dan cepat akses jejaring internet, menjadi ancaman penting bagi informasi mainstream yang bekerja dalam konteks industri informasi. Namun, ini tidak berarti bahwa pilihan informasi di jaringan internet bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik yang bebas nilai dan terlepas dari jerat hukum yang berlaku.

Oh Yeong-ho, pendiri Ohmynews sebagai pelopor utama citizen journalism di dunia asal Korea Selatan, secara tegas mengakui bahwa menulis sebuah berita membutuhkan waktu yang lebih lama dari hanya sekadar memberikan sebuah komentar atau melakukan posting pada situs blog.

Dalam pencemaran nama seseorang memang tidak ada pilihan untuk dilakukan pemeriksaan, karena ”kerusakan sudah terjadi” dan harus ada yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut. Sekaligus menguji dan memperbaiki berbagai undang- undang dan peraturan hukum mengantisipasi kemajuan teknologi komunikasi informasi.

Memang menjadi persoalan, apakah moderator sebuah mailing list juga ikut terlibat di mata hukum ketika terjadi kerusakan tersebut? Apakah seorang moderator bisa masuk bui karena dituduh ikut menyebarkan pencemaran nama baik hanya karena memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi?

Ketika UU ITE digelar, persoalan ini menjadi perdebatan hangat oleh siapa saja. Dan seharusnya perdebatan ini dilanjutkan untuk bisa mencapai apa yang kita sepakat satu-satunya bebas nilai itu adalah kebenaran yang hakiki. Di tengah kemajuan internet sekarang ini, informasi yang mana yang bisa dipercaya atau informasi bagaimana yang akurat? Kita tahu kalau kepercayaan pembaca itu sangat rentan sehingga perlu proses panjang untuk bisa menjaga kepercayaan itu.



Pranala Menarik